Konflik
NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Nahdlatul Ulama berdiri pada 1926 dan Muhammadiyah
berdiri pada 1912 menyatakan sebagai dua organisai terbesar di dunia, yang mana
lebih dari 40 juta adalah pengikut Nahdlatul Ulama dan lebih dari 25 juta
muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah.[1]
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi sosial-keagamaan
terbesar di Indonesia ini. Sebagai sebuah organisasi sosial-keagamaan NU dan
Muhammadiyah memiliki peran besar terhadap proses demokrasi dari berbagai
pandangan, sikap, sebenarnya tidak hanya fokus pada persoalan-persoalan
kehidupan sosial-keagamaan para warganya. Akan tetapi, dalam sejarahnya kedua
organisasi ini ikut terjun langsung dalam kehidupan politik. Kedua oragnisasi
ini memiliki kebijakan politik yang tidak memaksakan warganya untuk memilih
partai-partai tertentu, termasuk tidak memaksakan untuk memilih partai yang
dilahirkan di antara ke dua oraganisi ini.[2]
Sebagai organisasi yang pada akhirya melahirkan partai
politik sendiri, banyak kasus yang terjadi, dan pada kasus tersebut merupakan
konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk saling memenangkan
partainya sendiri. Meskipun PAN bukanlah Muhammadiyah dan PKB, serta PNU, PKU
dan PNU bukanlah Nahdlatul Ulama. Namun setiap orang mengetahui bahwa
partai-partai tersebut dilahirkan oleh tokoh-tokoh dari kedua oragnisasi
tersebut, sehingga partai-partai ini dinilai sebagai representasi dari
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[3]
Sehingga prolehan suara dari partai-partai ini, dalam pemilu legislatif maupun
Presiden seringkali terjadi dan dinilai sebagai representasi dari pengikut
antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sebelum dilahirkannya Partai Politik dari Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah, kedua oranganisasi ini berjalan harmonis, hanya saja
perbedaan pendapat mengenai qanut, tahlil dan sejenisnya. Namun pada saat ini,
perbedaan hal demikian telah dihilangkan digantikan dengan konflik Politik.
Dikarenakan Nahdlatul Ulama dan Muhammdiyah memiliki kepentingan lain untuk
menduduki suatu kekuasaan, baik kekuasaan dalam sistem negara maupun kekuasaan
lainnya.
Kekuasaan itulah yang menentukan untuk berjalannya kedua
organisasi tersebut, dari sekian banyak pengikutnya dicekoki untuk mewujudkan
partai politiknya yang dilahirkan. Namun penulis tidak akan memperpanjang lebar
mengenai konflik yang saling merebutkan kekuasaan untuk diduduki dari Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah yang diperjuangkan. Karena penulis meneliti tentang
konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [4]
Sehingga penulis memiliki rumusan masalah bahwa apa yang melatarbelangi
terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta? Dalam hal apa saja konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
di UIN Sunan Kalijaga?
Pembahasan
UIN Sunan Kalijaga di kenal sebagai kampus putih, kampus
rakyat, di mana di dalamnya baik dosen ataupun mahasiswa memiliki organisasi
tersendiri, sehingga seringkali terjadi suatu konflik baik konflik individu dan
individu, individu dengan kelompok, dan konflik kelompok dengan kelompok. Hal
demikian, yang seringkali terjadi konflik di UIN Sunan Kalijaga adalah konflik
antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan
Kalijaga merupakan konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik.
Berbicara politik dapat terlihat bahwa konflik tersebut dipengaruhi oleh sifat
asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu
mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi
dan menguasai.[5]
Perebutan kekuasaan untuk merebutkan struktur sosial yang
terjadi di UIN Sunan Kalijaga menjadi latar belakang terjadinya konflik. Hal
demikian, ada yang terjadi konflik secara sehat atau membangun, namun yang
sering terjadi adalah konflik yang tidak membangun, akan tetapi untuk
kepentingan sendiri dari salah satu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik antara NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga
terdapat bentuk-bentuk konflik yang mencolok baik dikalangan mahasiswa ataupun
ditingkat birokrasi.[6]
Hal demikian baru saja terjadi pada saat pemilihan Rektor dan Dekanat UIN Sunan
Kalijaga. Pemilihan tersebut terdapat kubu-kubu dari masing-masing kibaran
bendera, namun bendera tersebut hanyalah dua bendera yakni Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Sedangkan pada pemilihan Dekanat mereka yang mencalokan diri dari
masing-masing fakultas dan dari antara dua bendera ini, mereka semata-mata
hanya sebatas formalitas saja. Karaena pada faktanya walaupun ada calon yang
lolos seleksi, namun yang lolos demikian tidak terpilih menjadi Dekanat,
dikarenakan dari awal sudah dibagikan bahwa di fakultas ini bagian Nahdlatul
Ulama sedangkan di fakultas yang lainnya bagian Muhammadiyah. Konflik demikian
terjadi dalam bentuk konflik politik
antar golongan dalam birokrasi.[7]
Penutup
Latar belakang terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disebabkan karena kepentingan
politik untuk menduduki kekuasaan atau kursi-kursi tertentu dalam tatanan
birokrasi. UIN Sunan Kalijaga Dalam hal konflik antara Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah merukan konflik yang berbentuk Konflik
politik antargolongan dalam birokrasi. Sedangkan dalam tingkat Mahasiswa seringkali terjadi konflik antara NU dan
Muhammadiyah dikarenakan saling berjuang dibawah kibaran benderanya sebagai identitas
ideologi.
Daftar Pustaka
Asyari Suaidi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta:
LkiS. 2009
Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu
Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2010
Budiati Lilin, Edi Santosa. Manajemen Konflik. Banten:
Universitas Terbuka. 2014
Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada. 2013
Georg Ritzer. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2012
[2] Para warga
NU dan Muhammadiyah memiliki ruang yang luas untuk menentukan pilihan
partainya. Bagi para warga kedua organisasi ini mbebas menentukan sikap dan
pilihan politiknya sendiri tanpa adanyan tekanan dan ancaman untuk mengikuti
induk organisasinya. Dalam buku Nalar Politik NU dan Muhammadiyah dituliskan
oleh pengantar redaksi bahwa “pada era setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang
kemudian populer degan sebutan era Reformasi, banyak ilmuan dan dan tokoh dari
berbagai kalangan yang tertarik untuk memasuki dunia politik, tidak terkecuali
tokoh-tokoh penting dari organisasi-oragnisasi sosial-keagamaan semacam NU dan
Muhammadiyah. Pada era ini banyak tokoh baik dari kalangan NU maupun
Muhammadiyah yang bukan hanya terjun ke dunia politik, melainkan bahkan
mendorong untuk dibentuknya partai politik yang menjadi representasi dari
organisasi sosial-keagamaan yang mereka anut. Oleh karena itu, tidak heran
ketika lahir Partai Amanat Nasional (PAN) yang lahir dari tokoh Muhammadiyah
dan juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari tokoh Nahdlatul Ulama.
Bahkan dari rahim NU ini juga muncul partai-partai politik lain: PNU, PKU, dan
SUNI, meskipun ketiga partai tersebut terakhir ini tidak lahir secara resmi
dari organisasi induknya”.
[3]
Oleh karena itu, citra PKB tidak akan lepas dari Nahdlatul Ulama, sedangkan
citra PAN tidak mungkin bisa dilepaskan dari Muhammadiyah.
[4]
Konflik demikian akhir-akhir ini sejauh yang saya ketahui bahwa di UIN Sunan
Kalijaga seringkali terjadi konflik dikarenakan kepentingan politik.
[5] Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik
kontemporer. Hlm. 34
[6] “Ketika
dalam sebuah instansi, Ideologi akan
senantiasa kita bawah baik secara nilai atau sebatas simbol. Karena dibalik
semua itu, ada yang namanya kepentingan atau visi-misi yang tersirat atau
tersurat, baik individu maupun kelompok. Maka tidak heran ketika ada dualisme
kekuasaan. Contoh kecilnya saja ditingkatan Mahasiswa banyak kita temukan
oragnisasi-organisasi yang berjuang di bawah bendera hijau atau simbol matahari
sebagai identitas ideologi. Beum lagi ditingkatan birokrasi yang kental dengan
kepentingan dan kursi kekuasaan”. Hasil wawancara dengan Haryono sebagai ketua
HM-J KPI Fakultas Dakwah.
[7]
Soekanto, sorjono membagi bentuk konflik menjadi 5 bagian yaitu: a. Konflik
pribadi b. Konflik rasial c. Konflik antar kelas sosial d. Konflik politik antar
golongan dalam masyarakat e. Konflik berskala internasional antar negara.
(Manajemen Konflik: Cetakan kedua, Juni
2014 hlm. 1.29 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar