Sabtu, 12 September 2015

Konflik NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Konflik NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Nahdlatul Ulama berdiri pada 1926 dan Muhammadiyah berdiri pada 1912 menyatakan sebagai dua organisai terbesar di dunia, yang mana lebih dari 40 juta adalah pengikut Nahdlatul Ulama dan lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah.[1] Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia ini. Sebagai sebuah organisasi sosial-keagamaan NU dan Muhammadiyah memiliki peran besar terhadap proses demokrasi dari berbagai pandangan, sikap, sebenarnya tidak hanya fokus pada persoalan-persoalan kehidupan sosial-keagamaan para warganya. Akan tetapi, dalam sejarahnya kedua organisasi ini ikut terjun langsung dalam kehidupan politik. Kedua oragnisasi ini memiliki kebijakan politik yang tidak memaksakan warganya untuk memilih partai-partai tertentu, termasuk tidak memaksakan untuk memilih partai yang dilahirkan di antara ke dua oraganisi ini.[2]
Sebagai organisasi yang pada akhirya melahirkan partai politik sendiri, banyak kasus yang terjadi, dan pada kasus tersebut merupakan konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk saling memenangkan partainya sendiri. Meskipun PAN bukanlah Muhammadiyah dan PKB, serta PNU, PKU dan PNU bukanlah Nahdlatul Ulama. Namun setiap orang mengetahui bahwa partai-partai tersebut dilahirkan oleh tokoh-tokoh dari kedua oragnisasi tersebut, sehingga partai-partai ini dinilai sebagai representasi dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[3] Sehingga prolehan suara dari partai-partai ini, dalam pemilu legislatif maupun Presiden seringkali terjadi dan dinilai sebagai representasi dari pengikut antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sebelum dilahirkannya Partai Politik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kedua oranganisasi ini berjalan harmonis, hanya saja perbedaan pendapat mengenai qanut, tahlil dan sejenisnya. Namun pada saat ini, perbedaan hal demikian telah dihilangkan digantikan dengan konflik Politik. Dikarenakan Nahdlatul Ulama dan Muhammdiyah memiliki kepentingan lain untuk menduduki suatu kekuasaan, baik kekuasaan dalam sistem negara maupun kekuasaan lainnya.
Kekuasaan itulah yang menentukan untuk berjalannya kedua organisasi tersebut, dari sekian banyak pengikutnya dicekoki untuk mewujudkan partai politiknya yang dilahirkan. Namun penulis tidak akan memperpanjang lebar mengenai konflik yang saling merebutkan kekuasaan untuk diduduki dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang diperjuangkan. Karena penulis meneliti tentang konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [4] Sehingga penulis memiliki rumusan masalah bahwa apa yang melatarbelangi terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta? Dalam hal apa saja konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga?

Pembahasan
UIN Sunan Kalijaga di kenal sebagai kampus putih, kampus rakyat, di mana di dalamnya baik dosen ataupun mahasiswa memiliki organisasi tersendiri, sehingga seringkali terjadi suatu konflik baik konflik individu dan individu, individu dengan kelompok, dan konflik kelompok dengan kelompok. Hal demikian, yang seringkali terjadi konflik di UIN Sunan Kalijaga adalah konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga merupakan konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Berbicara politik dapat terlihat bahwa konflik tersebut dipengaruhi oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi dan menguasai.[5]
Perebutan kekuasaan untuk merebutkan struktur sosial yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga menjadi latar belakang terjadinya konflik. Hal demikian, ada yang terjadi konflik secara sehat atau membangun, namun yang sering terjadi adalah konflik yang tidak membangun, akan tetapi untuk kepentingan sendiri dari salah satu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik antara NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga terdapat bentuk-bentuk konflik yang mencolok baik dikalangan mahasiswa ataupun ditingkat birokrasi.[6] Hal demikian baru saja terjadi pada saat pemilihan Rektor dan Dekanat UIN Sunan Kalijaga. Pemilihan tersebut terdapat kubu-kubu dari masing-masing kibaran bendera, namun bendera tersebut hanyalah dua bendera yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan pada pemilihan Dekanat mereka yang mencalokan diri dari masing-masing fakultas dan dari antara dua bendera ini, mereka semata-mata hanya sebatas formalitas saja. Karaena pada faktanya walaupun ada calon yang lolos seleksi, namun yang lolos demikian tidak terpilih menjadi Dekanat, dikarenakan dari awal sudah dibagikan bahwa di fakultas ini bagian Nahdlatul Ulama sedangkan di fakultas yang lainnya bagian Muhammadiyah. Konflik demikian terjadi dalam bentuk konflik politik  antar golongan dalam birokrasi.[7] 

Penutup
Latar belakang terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disebabkan karena kepentingan politik untuk menduduki kekuasaan atau kursi-kursi tertentu dalam tatanan birokrasi. UIN Sunan Kalijaga Dalam hal konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merukan konflik yang berbentuk Konflik politik antargolongan dalam birokrasi. Sedangkan dalam tingkat Mahasiswa seringkali terjadi konflik antara NU dan Muhammadiyah dikarenakan saling berjuang dibawah kibaran benderanya sebagai identitas ideologi.

Daftar Pustaka
Asyari Suaidi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LkiS. 2009
Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2010
Budiati Lilin, Edi Santosa. Manajemen Konflik. Banten: Universitas Terbuka. 2014
Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2013
Georg Ritzer. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012







[1] Nalar politik NU dan Muhammadiyah. Hlm 1
[2] Para warga NU dan Muhammadiyah memiliki ruang yang luas untuk menentukan pilihan partainya. Bagi para warga kedua organisasi ini mbebas menentukan sikap dan pilihan politiknya sendiri tanpa adanyan tekanan dan ancaman untuk mengikuti induk organisasinya. Dalam buku Nalar Politik NU dan Muhammadiyah dituliskan oleh pengantar redaksi bahwa “pada era setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang kemudian populer degan sebutan era Reformasi, banyak ilmuan dan dan tokoh dari berbagai kalangan yang tertarik untuk memasuki dunia politik, tidak terkecuali tokoh-tokoh penting dari organisasi-oragnisasi sosial-keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah. Pada era ini banyak tokoh baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah yang bukan hanya terjun ke dunia politik, melainkan bahkan mendorong untuk dibentuknya partai politik yang menjadi representasi dari organisasi sosial-keagamaan yang mereka anut. Oleh karena itu, tidak heran ketika lahir Partai Amanat Nasional (PAN) yang lahir dari tokoh Muhammadiyah dan juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari tokoh Nahdlatul Ulama. Bahkan dari rahim NU ini juga muncul partai-partai politik lain: PNU, PKU, dan SUNI, meskipun ketiga partai tersebut terakhir ini tidak lahir secara resmi dari organisasi induknya”.
[3] Oleh karena itu, citra PKB tidak akan lepas dari Nahdlatul Ulama, sedangkan citra PAN tidak mungkin bisa dilepaskan dari Muhammadiyah.
[4] Konflik demikian akhir-akhir ini sejauh yang saya ketahui bahwa di UIN Sunan Kalijaga seringkali terjadi konflik dikarenakan kepentingan politik.
[5] Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Hlm. 34
[6] “Ketika dalam sebuah instansi, Ideologi  akan senantiasa kita bawah baik secara nilai atau sebatas simbol. Karena dibalik semua itu, ada yang namanya kepentingan atau visi-misi yang tersirat atau tersurat, baik individu maupun kelompok. Maka tidak heran ketika ada dualisme kekuasaan. Contoh kecilnya saja ditingkatan Mahasiswa banyak kita temukan oragnisasi-organisasi yang berjuang di bawah bendera hijau atau simbol matahari sebagai identitas ideologi. Beum lagi ditingkatan birokrasi yang kental dengan kepentingan dan kursi kekuasaan”. Hasil wawancara dengan Haryono sebagai ketua HM-J KPI Fakultas Dakwah.
[7] Soekanto, sorjono membagi bentuk konflik menjadi 5 bagian yaitu: a. Konflik pribadi b. Konflik rasial c. Konflik antar kelas sosial d. Konflik politik antar golongan dalam masyarakat e. Konflik berskala internasional antar negara. (Manajemen Konflik:  Cetakan kedua, Juni 2014 hlm. 1.29 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar