Biografi
KH. Wahab Hasbullah dilahirkan di
Tambakberas-Jombang pada tahun 188l, Ia dilahirkan dari Pengasuh Pesantren
Tambakberas Jombang Jawa Timur, yakni KH Hasbullah Said, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Ia
mulai menerima pendidikan Islam tingkat dasar dari ayahnya sendiri selama 13
tahun. Dalam usia itu ia mempelajari buku-buku elementar tentang teologi Islam,
yurisprudensi dan tata bahasa Arab tingkat menengah. Kemudian melanjutkan ke
pesantren Pelangitan di Tuban selama satu tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke
pesantren Mojosari di nganjuk selama empat tahun di bawah bimbingan dua Kiai,
yakni Kiai Shaleh dan Kiai Zainuddin. Disinilah ia terutama mendalami
yurisprudensi Islam, salah satu kitan yang ia dalami yaitu kitab Fathul Mu’in.[1]
` Kemudian
pindah ke pesantren cepaka kurang lebih enam bulan karena KH. Wahab Hasbullah
merasa pesantren tersebut tidak memiliki kiai yang tinggi ilmu pengetahuannya.
Ia memeilih pindah ke pesantren Tawangsari dekat Surabaya. Di sini ia
memperdalam lagi yurisprudensi Islam di bawah bimbingan Kiai Ali selama
setahun. Kitab utama yang didalami ialah kitab al-Iqna’. KH. Wahab Hasbullah
mulai percaya diri dan mampu menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam.
Kemudian Ia pergi ke pesantren Kademangan di Bangkalan Madura, di bawah
bimbingan Kiai Khalil.[2]
Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di
seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Selama tiga
tahun KH Wahab Hasbullah memperdalam ilmu pengetahuan di bidang bahasa Arab,
linguistik, dan kesusastraan Arab.[3]
Setelah selesai mempelajarinya Kiai Khalil menganjurkan untuk melanjutkan ke
pesantren Tebuireng di Jombang, yang mulai terkenal dengan Kiai muda dan
kecakapan ilmu pengetahuannya, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Akan tetapi, sebelum
KH. Wahab Hasbullah tinggal di pesantren Tebuireng Jombang, ia belajar tentang
tafsir Al-Quran, teologi Islam dan tasawuf di pesantren Branggahan Kediri, di
bawah bimbingan Kiai Faqihuddin selama setahun.
KH. Wahab Hasbullah tinggal di Tebuireng
selama empat tahun. Selain sebagai lurah pondok, ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar para santri sebagai bentuk selama di Tebuireng ia mengembangkan
kemampuan ilmu pengetahuaanya agar kelak menjadi pemimpin pesantren yang cukup
tangguh. Akan tetapi, sebelum ia memimpin pesantren sendiri ia dinasehati oleh
KH. Hasyim Asy’ari agar melanjutkan pelajaranya terlebih dahulu ke Saudi
Arabia. KH. Wahab Hasbullah berguru kepada enam ulama terkenal selama empat
tahun di Mekkah. Ke enam Kiai tersebut ialah :[4] a)
Kiai Mahfudz At-Tirmizi, kelahiran Termas, Pacitan. b) Kiai Mukhtamar,
kelahiran Banyumas. c) Syekh Ahmad Khatib, kelahiran Minangkabau. d) Kiai
Bakir, kelahiran Yogyakarta. e) Kiai Asy’ari, kelahiran Bawean. f) Syekh Abdul
Hamid, kelahiran Kudus.
Perjuangan Dan Sumbangsih Terhadap Agama dan
Negara
KH.
Wahab Hasbullah adalah santri yang memiliki keilmuan yang tinggi, karena ia
berkelana dari pesantren yang satu dengan pesentren yang lain. Ia adalah
seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti beraktivitas,
apalagi melihat rakyat Indonesia sedang terjajah. Sepulang dari Mekkah pada
tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah tidak hanya mengasuh pesantrennya di
Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia prihatin melihat
kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang
memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan, serta keterbelakanagan yang
diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia
mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita
negeri), tujuannya untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Untuk
memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatul Tujjar
(Kebangkitan Saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan
Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Kyai Hasyim Asy’ari memimpin organisasi ini,
sementara Kyai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang
anggotanya adalah, Kyai bisri Syansuri.
Pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah
mendirikan Taswirul Afkar, semacam group diskusi bersama-sama Kiai Mas Mansoer.
Dengan group inilah ia menyalurkan jiwa kepemudaanya dan menghimpunya dalam
satu ikatan potensi. Dimulai dari kota Surabaya kemudian berkembang di banyak
kota di Jawa Timur. Berbagai masalah yang timbul di masyarakat ia diskusikan,
baik masalah yang menyangkut persoalan-persoalan hukum agama, perkembangan
dunia internasional, maupun persoalan nasional yang berkembang akibat Belanda
yang sedang mencengkeram.[5]
Kemudian KH. Wahab Hasbullah mendirikan
Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dari kampungnya Kertopaten Surabaya. Kiai
Wahab mengobarkan aspirasinya dengan kepemimpinannya yang dinamis dan
bijaksana. Dengan demikian, bangkitlah ulama-ulama yag menyediakan tenaganya
untuk mendampingi Kiai Wahab, salah satu ialah Kiai Bisri Syansuri dari
Jombang, Kiai Ma’sum dari Lasem, Kiai Khalil dari Rembang, Kiai Abdul Halim
Leimunding Cirebon, dan seterusnya.
Kiai Wahab merupakan tokoh ulama yang memiliki
kekayaan ilmu yang begitu luas serta berpandangan jauh ke depan, jauh lebih
dari pada itu, Kiai Wahab menguasai ilmu retorika kecakapan dalam berusyawarah.
Jiwa yang tak pernah padam untuk mencari dan menuntun kebenaran, ia melakukan
diskusi-diskusi dengan masyarakat luas. Berkali-kali ia melakukan diskusi
dengan Kiai Ahmad Syurkati pendiri perkumpulan Al-Irsyad di Surabaya, Ia
mendiskusikan masalah agama yang hangat di kala itu. Untuk melakukan diskusi
dengan Kiai Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, Kiai Wahab tidak
segan-segan pergi ke Yogyakarta.
Sekitar tahun 1924, suatu revolusi mental yang
dilakukan Kiai Wahab untuk mempersatukan kaum ulama dan kaum nasionalis. Kiai
Wahab mempertemukan aspirasi-aspirasi Islam dan nasionalisme sebagai dua
aspirasi yang saling mengisi dan melengkapi, untuk meletakkan strategi melawan
kekuasaan Belanda.[6]
Baik melalui Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam
Study Club, maka ada pengaruh yang mempercepat kebangkitan serta solidaritas
umat Islam Indonesia.
Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul
Wathan merupakan satu kesatuan dalam aliran, baik dalam akidah maupun ibadah
dan merupakan kesatuan dalam aspirasi kemasyarakatan. Kemudian meleburkan diri
dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan Kiai Wahab. Tokoh-tokoh lain
seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan, KHR. Asnawi,
Kiai Nawawi, Kiai Nakhrawi, Kiai alwi Abdul Aziz, dan beberapa ulama lain yang
berada di bawah pimpinan Kiai Wahab berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari
1926, yang menghasilkan keputusan:[7]
1. Mengirm delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan
kepada Raja Sa’ud agar-agar hukum menurut empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali, mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah
kekuasaanya.
2. Membentuk suatu Jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama)
yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari
empat madzhab.
Pendelegasian ke Makkah dipercaya kepada Kiai
Wahab dan Syaikh Ghanaim, meskipun gagal berangkat akan tetapi tetap sukses
dalam missinya dengan mengirim telegram. Dengan demikian, Kiai Wahab tidak
bersedia menduduki Rais Akbar dalam NU. Jabatan tertinggi itu diserahkan kepada
Kiai Hasyim Asy’ari karena sebagai senior dan Kiai Ahmad Dahlam dari Surabaya
sebagai wakilnya. Sedangkan presiden tanfidiyahnya dipercayakan kepada H. Hasan
Gippo. Sementara Kiai Wahab sendiri merasa cukup menjadi Khatib ‘Am (Sekretaris
umum) syuriah. Namun, nafas pergerakan NU tidak dapat terlepas dari peran serta
Kiai Wahab.[8]
Pada usia NU yng ke 15 tahun, NU telah
mempunyai beberapa badan otonom, diantaranya ANU (Anshor Nahdlatul Ulama) dan
gerakan Wanita Muslimat. Di samping itu NU mulai mengarahkan program-program di
bidang pertanian dan ekonomi. Maka dibentuklah sebuah badan otonom yang bernama
PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) dsn Nahdlatul Ulama di bagian ekonomi.
Dilanjutkan lagi dengan menerbitkan majalah Suara Nahdlatul Ulama yang selama
tujuh tahunu di pimpin langsung oleh Kiai Wahab selaku sebagai pemimpin umum
dan pemimpin redaksinya. Kemudian menerbitkan Berita Nahdlatul Ulama yaang
tekhnik dan jurnalistiknya di bawah asuhan Kiai Mahfudz Siddiq. Mendampingi dua
majalah tersebut, berikutnya terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah
kepemimpinan Umar Burhan, dan Terompet Anshor di bawah kepemimpinan Tarmyis
Khudlory, serta majalah yang berbahasa Jawa Penggugah (Pembangun) yang
mula-mula dipimpin oleh KHR. Iskandar, kemudian diganti Syaifuddin Zuhri.[9]
Pada saat penjajahan Jepang yang tidak ada
bedanya dengan penjajahan Belanda. Jepang telah menghancurkan bangunan-bangun,
struktur politik, ekonomi dan sosial yang selama ini dibina oleh
Hindia-Belanda. Jepang merampas kekayaan Tanah Air dan menghancurkan kebudayaan
serta adat istiadat bangsa. Di tengah-tengah kekacauan yang merata seluruh
masyarakat, Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang dengan alasan yang tidak
jelas. Kejadian tersebut menimbulkan kegoncangan dikalangan NU, apalagi disusul
dengan ditangkapnya Kia Mahfudz Siddiq Ketua PBNU dengan tuduhan telah
melakukan gerakan anti Jepang. Kemudian disusul lagi dengan ditangkapnya
ulama-ulama dan tokoh-tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan
yang dicari-cari oleh Jepang.
Peristiwa yang demikian telah menampilkan Kiai
Wahab yang siap secara lahir batin untuk melakuakan pembebasan terhadap para
Kiai yang ditangkap oleh Jepang. Kiai Wahab didampingi Kiai Wahid Hasyim yang
memiliki intelegensia serta keberanian yang cermat. Kiai Wahab berulang-ulang
mengunjungi Saikoo Sikikan (panglima tertinggi bala tentara Jepag di Jawa),
Guiseikan (kepala pemerintahan Militer Jepang di Jakarta), Shuutyokan (Residen
Jepang di Surabaya) dan pembesar yang lain yang dapat ditemui, selama hampir
lima bulan seluruh waktunuya dihabiskan untuk melakukan pembebasan. Setelah
melampaui perjuangan yang keras dan banyak menanggung resiko, Kiai Hasyim
Asy’ari dapat dibebaskan. rAkan tetapi Kiai Wahab tidak berhenti sampai disini,
Kiai Wahab pergi mondar-mandir ke Wonosobo melalui pengadilan Jepang untuk
membebaskan 12 orang tokoh ulama NU yang menjadi tulang punggung NU di Jawa
Tengah. Dengan semangat yang tidak pernah padam meskipun berbagai rintangan
yang menghadang, kurang lebih empat bulan lamanya 12 orang tokoh ulama tersebut
baru dapat dibebaskan. Kiai Wahab juga memperjuangkan untuk membebaskan para
ulama-ulama yang ditahan Jepang di daerah-daerah lain.
Pada bulan agustus 1945 sampai pada bulan
desember 1949 diisi penuh dengan perjuangan politik dan militer. Pada waktu ini
juga, PBNU hijrah dari Surabaya, setelah kota Pahawan ini diduduki oleh sekutu
dan Belanda. Pada mulanya hijrah ke Pasuruan lalu ke Madiun. Kemudian kembali
ke Surabaya dan pada akhirnya pindah ke Jakarta. Kiai Wahab bersama Ki Hajar,
Douwes Dekker (setia budi), Radjiman Wedyoningrat diangkat menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung, sebuah Dewan untuk memberi nasehat baik diminta atau
tidak kepada Soekarno-Hatta (Pimpinan Negara). Kiai Wahab bukan lagi sebatas
tokoh NU, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang disegani dan dimuliakan.
Pada waktu partai Masyumi mengadakan sidang di
Yogyakarta dalam rangka menaggapi persetujuan Renville yang diwarisi oleh
kabinet Hatta, Kiai Wahab sepakat dengan duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan persetujuan Renville karena
persetujuan tersebut merupakan persetujuan antara negara dengan negara.
Meskipun perjanjian Renville kita anggap sebagai perkara munkar yang
merendahkan martabat kemerdekaan. Akan tetapi, menurut agama kita berkewajiban
untuk melenyapkan tiap-tiap yang munkar dengan kekuatan yang maksimal dan dapat
terlaksana ketika menduduki di dalam kabinet Hatta. Sekalipun perundingan
politik menghadapi Belanda terus berlangsung, namun pertempuran di seluruh
medan tersu berkobar. Sebagai pemimpin barisan Kiai, maka Kiai Wahab dengan
sendirinya tampil dengan di depan dalam berabagai front pertempuran mendampingi
pemuda-pemuda yang sedang mempertaruhkan nyawanya.
Selama enam tahun dari tahun 1945-1951 NU
menjadi anggota masyumi, pada tahun 1951 Kiai Wahab didampingi Kiai
Wahid mencetuskan gagasan untuk menjadikan NU sebagai partai politik melalui
suatu prosedur yang demokratis dan menjadikan NU keluar dari Masyumi. Namun
terdapat berita buruk setelah pelaksaan muktamar NU ke 17 di Madiun, 25 Mei 1947.
Agresi militer Belanda yang pertama pada tanggal 21 juli 1947 berhasil merebut
markas tertinggi Hizbullah dan Sabilillah di malang. berita demukian semakin
memperburuk demikian sampai kepada KH. Hasyim Asy’ari, seketika juga KH.
Asy’ari memegang kepalanya dan jatuh pingsan, beliau mengalami pendarahan otak.
Pada malam hari itu juga tanggal 25 juli 1947 Ra’is Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari
berpulag ke Rahmatullah. Kedudukanya digantikan oleh Kiai Wahab dengan sebutan Rais
‘Am NU.
Setelah muktamar NU ke-25, dihadiri 333 cabang
NU di seluruh Indonesia menyatukan suara sehingga Kiai Wahab kembali terpilih
menjadi Rais ‘Am. Akan tetapi sejarah mencatat lain, Kiai Wahab tidak dapat
melanjutkan tanggung jawabnya. Kiai Wahab Hasbullah meninggal dunia, empat hari
setelah muktamar, pada tanggal 9 desember 1971 di rumah kediamannya di
Tambakberas Jombang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, dkk. Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta:
LTn-NU bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. 1995.
Djohan Efendi. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara. 2010.
Ida Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme. Jakarta:
Erlangga. 2004.
[1] Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama, LTn-NU
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 28.
[2] Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di
seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Kiai Khalil
sebagai seorang Kiai tua yang paling tenar ketika itu, meyakinkan para
pengikutnya akan kebesaran Kiai Hasyim Asy’ari, dengan cara membawa para
pengikutnya untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Kiai Hasyim
Asy’ari di bulan puasa. Para Kiai menganggap dan para pengikutnya sebagai
isyarat bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan menjadi seorang Kiai yang lebih masyur
dari pada Kiai Khalil, dan merupakan pengakuan dari Kiai Khalil sendiri bahwa
KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ‘alim yang tinggi sekali ilmunya.
[6]
Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul
Ulama. Hlm. 32.
Kiai Wahab tidak menyia-nyiakan lembaga
pembinaan kader ketika Kaum terpelajar di Surabaya mendirikan “Islam Study
Club” yang banyak dikunjungi pemimpin-pemimpin pergerakan. Ia melakukan kontak
dan berkenalan dari dekat dengan dengan tokoh-tokoh pergerkan Indonesia,
diantaranya Dr. Sutomo.
[8]
Kiai Wahab sebagai pencetus utama
ide sekaligus bidang yang melahirkan NU. Kiai Wahab menyadari bahwa Jama’ah ini
tidak lahir di tengah-tengah orang-orang yang lagi berkuasa dan bukan di
tengah-tengah berkecamuknya konflik politik. Jama’ah ini lahir di tengah-tengah
kebangkitan aspirasi pesantren, diantara kiai dan santri-santrinya yang jauh
dari jangkauan penguasa pemimpin politik. Kiai Wahab dapat dikatakan sebagai
wujud dari NU dalam praktek. Suatu kombinasi
integral antara taqwa, ilmu, akhlaq, dedikasi, dan berkarya.
[9] Di samping itu Nahdlatul Ulama
telah mengorganisir madrash/sekolah yang ribuan jumlahnya serta tersebar di
seuruh tanah air, yang dibiayai sediri oleh warganya karena menolak langsung
subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar