Rabu, 21 Oktober 2015

KH. Wahab Hasbullah

Biografi
KH. Wahab Hasbullah dilahirkan di Tambakberas-Jombang pada tahun 188l, Ia dilahirkan dari Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, yakni KH Hasbullah Said,  sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Ia mulai menerima pendidikan Islam tingkat dasar dari ayahnya sendiri selama 13 tahun. Dalam usia itu ia mempelajari buku-buku elementar tentang teologi Islam, yurisprudensi dan tata bahasa Arab tingkat menengah. Kemudian melanjutkan ke pesantren Pelangitan di Tuban selama satu tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke pesantren Mojosari di nganjuk selama empat tahun di bawah bimbingan dua Kiai, yakni Kiai Shaleh dan Kiai Zainuddin. Disinilah ia terutama mendalami yurisprudensi Islam, salah satu kitan yang ia dalami yaitu kitab Fathul Mu’in.[1]
`          Kemudian pindah ke pesantren cepaka kurang lebih enam bulan karena KH. Wahab Hasbullah merasa pesantren tersebut tidak memiliki kiai yang tinggi ilmu pengetahuannya. Ia memeilih pindah ke pesantren Tawangsari dekat Surabaya. Di sini ia memperdalam lagi yurisprudensi Islam di bawah bimbingan Kiai Ali selama setahun. Kitab utama yang didalami ialah kitab al-Iqna’. KH. Wahab Hasbullah mulai percaya diri dan mampu menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Kemudian Ia pergi ke pesantren Kademangan di Bangkalan Madura, di bawah bimbingan Kiai Khalil.[2]
Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Selama tiga tahun KH Wahab Hasbullah memperdalam ilmu pengetahuan di bidang bahasa Arab, linguistik, dan kesusastraan Arab.[3] Setelah selesai mempelajarinya Kiai Khalil menganjurkan untuk melanjutkan ke pesantren Tebuireng di Jombang, yang mulai terkenal dengan Kiai muda dan kecakapan ilmu pengetahuannya, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Akan tetapi, sebelum KH. Wahab Hasbullah tinggal di pesantren Tebuireng Jombang, ia belajar tentang tafsir Al-Quran, teologi Islam dan tasawuf di pesantren Branggahan Kediri, di bawah bimbingan Kiai Faqihuddin selama setahun.
KH. Wahab Hasbullah tinggal di Tebuireng selama empat tahun. Selain sebagai lurah pondok, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar para santri sebagai bentuk selama di Tebuireng ia mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuaanya agar kelak menjadi pemimpin pesantren yang cukup tangguh. Akan tetapi, sebelum ia memimpin pesantren sendiri ia dinasehati oleh KH. Hasyim Asy’ari agar melanjutkan pelajaranya terlebih dahulu ke Saudi Arabia. KH. Wahab Hasbullah berguru kepada enam ulama terkenal selama empat tahun di Mekkah. Ke enam Kiai tersebut ialah :[4] a) Kiai Mahfudz At-Tirmizi, kelahiran Termas, Pacitan. b) Kiai Mukhtamar, kelahiran Banyumas. c) Syekh Ahmad Khatib, kelahiran Minangkabau. d) Kiai Bakir, kelahiran Yogyakarta. e) Kiai Asy’ari, kelahiran Bawean. f) Syekh Abdul Hamid, kelahiran Kudus.

Perjuangan Dan Sumbangsih Terhadap Agama dan Negara
            KH. Wahab Hasbullah adalah santri yang memiliki keilmuan yang tinggi, karena ia berkelana dari pesantren yang satu dengan pesentren yang lain. Ia adalah seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti beraktivitas, apalagi melihat rakyat Indonesia sedang terjajah. Sepulang dari Mekkah pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia prihatin melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan, serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita negeri), tujuannya untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Kyai Hasyim Asy’ari memimpin organisasi ini, sementara Kyai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah, Kyai bisri Syansuri.
Pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah mendirikan Taswirul Afkar, semacam group diskusi bersama-sama Kiai Mas Mansoer. Dengan group inilah ia menyalurkan jiwa kepemudaanya dan menghimpunya dalam satu ikatan potensi. Dimulai dari kota Surabaya kemudian berkembang di banyak kota di Jawa Timur. Berbagai masalah yang timbul di masyarakat ia diskusikan, baik masalah yang menyangkut persoalan-persoalan hukum agama, perkembangan dunia internasional, maupun persoalan nasional yang berkembang akibat Belanda yang sedang mencengkeram.[5]
Kemudian KH. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dari kampungnya Kertopaten Surabaya. Kiai Wahab mengobarkan aspirasinya dengan kepemimpinannya yang dinamis dan bijaksana. Dengan demikian, bangkitlah ulama-ulama yag menyediakan tenaganya untuk mendampingi Kiai Wahab, salah satu ialah Kiai Bisri Syansuri dari Jombang, Kiai Ma’sum dari Lasem, Kiai Khalil dari Rembang, Kiai Abdul Halim Leimunding Cirebon, dan seterusnya.
Kiai Wahab merupakan tokoh ulama yang memiliki kekayaan ilmu yang begitu luas serta berpandangan jauh ke depan, jauh lebih dari pada itu, Kiai Wahab menguasai ilmu retorika kecakapan dalam berusyawarah. Jiwa yang tak pernah padam untuk mencari dan menuntun kebenaran, ia melakukan diskusi-diskusi dengan masyarakat luas. Berkali-kali ia melakukan diskusi dengan Kiai Ahmad Syurkati pendiri perkumpulan Al-Irsyad di Surabaya, Ia mendiskusikan masalah agama yang hangat di kala itu. Untuk melakukan diskusi dengan Kiai Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, Kiai Wahab tidak segan-segan pergi ke Yogyakarta.
Sekitar tahun 1924, suatu revolusi mental yang dilakukan Kiai Wahab untuk mempersatukan kaum ulama dan kaum nasionalis. Kiai Wahab mempertemukan aspirasi-aspirasi Islam dan nasionalisme sebagai dua aspirasi yang saling mengisi dan melengkapi, untuk meletakkan strategi melawan kekuasaan Belanda.[6] Baik melalui Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam Study Club, maka ada pengaruh yang mempercepat kebangkitan serta solidaritas umat Islam Indonesia.
Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan merupakan satu kesatuan dalam aliran, baik dalam akidah maupun ibadah dan merupakan kesatuan dalam aspirasi kemasyarakatan. Kemudian meleburkan diri dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan Kiai Wahab. Tokoh-tokoh lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan, KHR. Asnawi, Kiai Nawawi, Kiai Nakhrawi, Kiai alwi Abdul Aziz, dan beberapa ulama lain yang berada di bawah pimpinan Kiai Wahab berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, yang menghasilkan keputusan:[7]
1.      Mengirm delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Sa’ud agar-agar hukum menurut empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaanya.
2.      Membentuk suatu Jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.
Pendelegasian ke Makkah dipercaya kepada Kiai Wahab dan Syaikh Ghanaim, meskipun gagal berangkat akan tetapi tetap sukses dalam missinya dengan mengirim telegram. Dengan demikian, Kiai Wahab tidak bersedia menduduki Rais Akbar dalam NU. Jabatan tertinggi itu diserahkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari karena sebagai senior dan Kiai Ahmad Dahlam dari Surabaya sebagai wakilnya. Sedangkan presiden tanfidiyahnya dipercayakan kepada H. Hasan Gippo. Sementara Kiai Wahab sendiri merasa cukup menjadi Khatib ‘Am (Sekretaris umum) syuriah. Namun, nafas pergerakan NU tidak dapat terlepas dari peran serta Kiai Wahab.[8]
Pada usia NU yng ke 15 tahun, NU telah mempunyai beberapa badan otonom, diantaranya ANU (Anshor Nahdlatul Ulama) dan gerakan Wanita Muslimat. Di samping itu NU mulai mengarahkan program-program di bidang pertanian dan ekonomi. Maka dibentuklah sebuah badan otonom yang bernama PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) dsn Nahdlatul Ulama di bagian ekonomi. Dilanjutkan lagi dengan menerbitkan majalah Suara Nahdlatul Ulama yang selama tujuh tahunu di pimpin langsung oleh Kiai Wahab selaku sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksinya. Kemudian menerbitkan Berita Nahdlatul Ulama yaang tekhnik dan jurnalistiknya di bawah asuhan Kiai Mahfudz Siddiq. Mendampingi dua majalah tersebut, berikutnya terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Umar Burhan, dan Terompet Anshor di bawah kepemimpinan Tarmyis Khudlory, serta majalah yang berbahasa Jawa Penggugah (Pembangun) yang mula-mula dipimpin oleh KHR. Iskandar, kemudian diganti Syaifuddin Zuhri.[9]
Pada saat penjajahan Jepang yang tidak ada bedanya dengan penjajahan Belanda. Jepang telah menghancurkan bangunan-bangun, struktur politik, ekonomi dan sosial yang selama ini dibina oleh Hindia-Belanda. Jepang merampas kekayaan Tanah Air dan menghancurkan kebudayaan serta adat istiadat bangsa. Di tengah-tengah kekacauan yang merata seluruh masyarakat, Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang dengan alasan yang tidak jelas. Kejadian tersebut menimbulkan kegoncangan dikalangan NU, apalagi disusul dengan ditangkapnya Kia Mahfudz Siddiq Ketua PBNU dengan tuduhan telah melakukan gerakan anti Jepang. Kemudian disusul lagi dengan ditangkapnya ulama-ulama dan tokoh-tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang dicari-cari oleh Jepang.
Peristiwa yang demikian telah menampilkan Kiai Wahab yang siap secara lahir batin untuk melakuakan pembebasan terhadap para Kiai yang ditangkap oleh Jepang. Kiai Wahab didampingi Kiai Wahid Hasyim yang memiliki intelegensia serta keberanian yang cermat. Kiai Wahab berulang-ulang mengunjungi Saikoo Sikikan (panglima tertinggi bala tentara Jepag di Jawa), Guiseikan (kepala pemerintahan Militer Jepang di Jakarta), Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya) dan pembesar yang lain yang dapat ditemui, selama hampir lima bulan seluruh waktunuya dihabiskan untuk melakukan pembebasan. Setelah melampaui perjuangan yang keras dan banyak menanggung resiko, Kiai Hasyim Asy’ari dapat dibebaskan. rAkan tetapi Kiai Wahab tidak berhenti sampai disini, Kiai Wahab pergi mondar-mandir ke Wonosobo melalui pengadilan Jepang untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU yang menjadi tulang punggung NU di Jawa Tengah. Dengan semangat yang tidak pernah padam meskipun berbagai rintangan yang menghadang, kurang lebih empat bulan lamanya 12 orang tokoh ulama tersebut baru dapat dibebaskan. Kiai Wahab juga memperjuangkan untuk membebaskan para ulama-ulama yang ditahan Jepang di daerah-daerah lain.
Pada bulan agustus 1945 sampai pada bulan desember 1949 diisi penuh dengan perjuangan politik dan militer. Pada waktu ini juga, PBNU hijrah dari Surabaya, setelah kota Pahawan ini diduduki oleh sekutu dan Belanda. Pada mulanya hijrah ke Pasuruan lalu ke Madiun. Kemudian kembali ke Surabaya dan pada akhirnya pindah ke Jakarta. Kiai Wahab bersama Ki Hajar, Douwes Dekker (setia budi), Radjiman Wedyoningrat diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, sebuah Dewan untuk memberi nasehat baik diminta atau tidak kepada Soekarno-Hatta (Pimpinan Negara). Kiai Wahab bukan lagi sebatas tokoh NU, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang disegani dan dimuliakan.
Pada waktu partai Masyumi mengadakan sidang di Yogyakarta dalam rangka menaggapi persetujuan Renville yang diwarisi oleh kabinet Hatta, Kiai Wahab sepakat dengan duduk dalam kabinet yang akan  melaksanakan persetujuan Renville karena persetujuan tersebut merupakan persetujuan antara negara dengan negara. Meskipun perjanjian Renville kita anggap sebagai perkara munkar yang merendahkan martabat kemerdekaan. Akan tetapi, menurut agama kita berkewajiban untuk melenyapkan tiap-tiap yang munkar dengan kekuatan yang maksimal dan dapat terlaksana ketika menduduki di dalam kabinet Hatta. Sekalipun perundingan politik menghadapi Belanda terus berlangsung, namun pertempuran di seluruh medan tersu berkobar. Sebagai pemimpin barisan Kiai, maka Kiai Wahab dengan sendirinya tampil dengan di depan dalam berabagai front pertempuran mendampingi pemuda-pemuda yang sedang mempertaruhkan nyawanya.
Selama enam tahun dari tahun 1945-1951 NU menjadi anggota masyumi, pada tahun 1951 Kiai Wahab didampingi Kiai Wahid mencetuskan gagasan untuk menjadikan NU sebagai partai politik melalui suatu prosedur yang demokratis dan menjadikan NU keluar dari Masyumi. Namun terdapat berita buruk setelah pelaksaan muktamar NU ke 17 di Madiun, 25 Mei 1947. Agresi militer Belanda yang pertama pada tanggal 21 juli 1947 berhasil merebut markas tertinggi Hizbullah dan Sabilillah di malang. berita demukian semakin memperburuk demikian sampai kepada KH. Hasyim Asy’ari, seketika juga KH. Asy’ari memegang kepalanya dan jatuh pingsan, beliau mengalami pendarahan otak. Pada malam hari itu juga tanggal 25 juli 1947 Ra’is Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari berpulag ke Rahmatullah. Kedudukanya digantikan oleh Kiai Wahab dengan sebutan Rais ‘Am NU.
Setelah muktamar NU ke-25, dihadiri 333 cabang NU di seluruh Indonesia menyatukan suara sehingga Kiai Wahab kembali terpilih menjadi Rais ‘Am. Akan tetapi sejarah mencatat lain, Kiai Wahab tidak dapat melanjutkan tanggung jawabnya. Kiai Wahab Hasbullah meninggal dunia, empat hari setelah muktamar, pada tanggal 9 desember 1971 di rumah kediamannya di Tambakberas Jombang.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, dkk. Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: LTn-NU bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. 1995.
Djohan Efendi. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2010.
Ida Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme. Jakarta: Erlangga. 2004.




[1] Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama, LTn-NU bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 28.
[2] Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Kiai Khalil sebagai seorang Kiai tua yang paling tenar ketika itu, meyakinkan para pengikutnya akan kebesaran Kiai Hasyim Asy’ari, dengan cara membawa para pengikutnya untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Kiai Hasyim Asy’ari di bulan puasa. Para Kiai menganggap dan para pengikutnya sebagai isyarat bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan menjadi seorang Kiai yang lebih masyur dari pada Kiai Khalil, dan merupakan pengakuan dari Kiai Khalil sendiri bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ‘alim yang tinggi sekali ilmunya.
[3] Ibid
[4] Ibid. 30
[5] Ibid. 30               
[6] Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama. Hlm. 32.
Kiai Wahab tidak menyia-nyiakan lembaga pembinaan kader ketika Kaum terpelajar di Surabaya mendirikan “Islam Study Club” yang banyak dikunjungi pemimpin-pemimpin pergerakan. Ia melakukan kontak dan berkenalan dari dekat dengan dengan tokoh-tokoh pergerkan Indonesia, diantaranya Dr. Sutomo.
[7] Ibid. Hlm. 34
[8] Kiai Wahab sebagai pencetus utama ide sekaligus bidang yang melahirkan NU. Kiai Wahab menyadari bahwa Jama’ah ini tidak lahir di tengah-tengah orang-orang yang lagi berkuasa dan bukan di tengah-tengah berkecamuknya konflik politik. Jama’ah ini lahir di tengah-tengah kebangkitan aspirasi pesantren, diantara kiai dan santri-santrinya yang jauh dari jangkauan penguasa pemimpin politik. Kiai Wahab dapat dikatakan sebagai wujud dari  NU dalam praktek. Suatu kombinasi integral antara taqwa, ilmu, akhlaq, dedikasi, dan berkarya.
[9] Di samping itu Nahdlatul Ulama telah mengorganisir madrash/sekolah yang ribuan jumlahnya serta tersebar di seuruh tanah air, yang dibiayai sediri oleh warganya karena menolak langsung subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar