Rabu, 21 Oktober 2015

KH. Wahab Hasbullah

Biografi
KH. Wahab Hasbullah dilahirkan di Tambakberas-Jombang pada tahun 188l, Ia dilahirkan dari Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, yakni KH Hasbullah Said,  sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Ia mulai menerima pendidikan Islam tingkat dasar dari ayahnya sendiri selama 13 tahun. Dalam usia itu ia mempelajari buku-buku elementar tentang teologi Islam, yurisprudensi dan tata bahasa Arab tingkat menengah. Kemudian melanjutkan ke pesantren Pelangitan di Tuban selama satu tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke pesantren Mojosari di nganjuk selama empat tahun di bawah bimbingan dua Kiai, yakni Kiai Shaleh dan Kiai Zainuddin. Disinilah ia terutama mendalami yurisprudensi Islam, salah satu kitan yang ia dalami yaitu kitab Fathul Mu’in.[1]
`          Kemudian pindah ke pesantren cepaka kurang lebih enam bulan karena KH. Wahab Hasbullah merasa pesantren tersebut tidak memiliki kiai yang tinggi ilmu pengetahuannya. Ia memeilih pindah ke pesantren Tawangsari dekat Surabaya. Di sini ia memperdalam lagi yurisprudensi Islam di bawah bimbingan Kiai Ali selama setahun. Kitab utama yang didalami ialah kitab al-Iqna’. KH. Wahab Hasbullah mulai percaya diri dan mampu menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Kemudian Ia pergi ke pesantren Kademangan di Bangkalan Madura, di bawah bimbingan Kiai Khalil.[2]
Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Selama tiga tahun KH Wahab Hasbullah memperdalam ilmu pengetahuan di bidang bahasa Arab, linguistik, dan kesusastraan Arab.[3] Setelah selesai mempelajarinya Kiai Khalil menganjurkan untuk melanjutkan ke pesantren Tebuireng di Jombang, yang mulai terkenal dengan Kiai muda dan kecakapan ilmu pengetahuannya, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Akan tetapi, sebelum KH. Wahab Hasbullah tinggal di pesantren Tebuireng Jombang, ia belajar tentang tafsir Al-Quran, teologi Islam dan tasawuf di pesantren Branggahan Kediri, di bawah bimbingan Kiai Faqihuddin selama setahun.
KH. Wahab Hasbullah tinggal di Tebuireng selama empat tahun. Selain sebagai lurah pondok, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar para santri sebagai bentuk selama di Tebuireng ia mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuaanya agar kelak menjadi pemimpin pesantren yang cukup tangguh. Akan tetapi, sebelum ia memimpin pesantren sendiri ia dinasehati oleh KH. Hasyim Asy’ari agar melanjutkan pelajaranya terlebih dahulu ke Saudi Arabia. KH. Wahab Hasbullah berguru kepada enam ulama terkenal selama empat tahun di Mekkah. Ke enam Kiai tersebut ialah :[4] a) Kiai Mahfudz At-Tirmizi, kelahiran Termas, Pacitan. b) Kiai Mukhtamar, kelahiran Banyumas. c) Syekh Ahmad Khatib, kelahiran Minangkabau. d) Kiai Bakir, kelahiran Yogyakarta. e) Kiai Asy’ari, kelahiran Bawean. f) Syekh Abdul Hamid, kelahiran Kudus.

Perjuangan Dan Sumbangsih Terhadap Agama dan Negara
            KH. Wahab Hasbullah adalah santri yang memiliki keilmuan yang tinggi, karena ia berkelana dari pesantren yang satu dengan pesentren yang lain. Ia adalah seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti beraktivitas, apalagi melihat rakyat Indonesia sedang terjajah. Sepulang dari Mekkah pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia prihatin melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan, serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita negeri), tujuannya untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Kyai Hasyim Asy’ari memimpin organisasi ini, sementara Kyai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah, Kyai bisri Syansuri.
Pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah mendirikan Taswirul Afkar, semacam group diskusi bersama-sama Kiai Mas Mansoer. Dengan group inilah ia menyalurkan jiwa kepemudaanya dan menghimpunya dalam satu ikatan potensi. Dimulai dari kota Surabaya kemudian berkembang di banyak kota di Jawa Timur. Berbagai masalah yang timbul di masyarakat ia diskusikan, baik masalah yang menyangkut persoalan-persoalan hukum agama, perkembangan dunia internasional, maupun persoalan nasional yang berkembang akibat Belanda yang sedang mencengkeram.[5]
Kemudian KH. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dari kampungnya Kertopaten Surabaya. Kiai Wahab mengobarkan aspirasinya dengan kepemimpinannya yang dinamis dan bijaksana. Dengan demikian, bangkitlah ulama-ulama yag menyediakan tenaganya untuk mendampingi Kiai Wahab, salah satu ialah Kiai Bisri Syansuri dari Jombang, Kiai Ma’sum dari Lasem, Kiai Khalil dari Rembang, Kiai Abdul Halim Leimunding Cirebon, dan seterusnya.
Kiai Wahab merupakan tokoh ulama yang memiliki kekayaan ilmu yang begitu luas serta berpandangan jauh ke depan, jauh lebih dari pada itu, Kiai Wahab menguasai ilmu retorika kecakapan dalam berusyawarah. Jiwa yang tak pernah padam untuk mencari dan menuntun kebenaran, ia melakukan diskusi-diskusi dengan masyarakat luas. Berkali-kali ia melakukan diskusi dengan Kiai Ahmad Syurkati pendiri perkumpulan Al-Irsyad di Surabaya, Ia mendiskusikan masalah agama yang hangat di kala itu. Untuk melakukan diskusi dengan Kiai Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, Kiai Wahab tidak segan-segan pergi ke Yogyakarta.
Sekitar tahun 1924, suatu revolusi mental yang dilakukan Kiai Wahab untuk mempersatukan kaum ulama dan kaum nasionalis. Kiai Wahab mempertemukan aspirasi-aspirasi Islam dan nasionalisme sebagai dua aspirasi yang saling mengisi dan melengkapi, untuk meletakkan strategi melawan kekuasaan Belanda.[6] Baik melalui Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam Study Club, maka ada pengaruh yang mempercepat kebangkitan serta solidaritas umat Islam Indonesia.
Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan merupakan satu kesatuan dalam aliran, baik dalam akidah maupun ibadah dan merupakan kesatuan dalam aspirasi kemasyarakatan. Kemudian meleburkan diri dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan Kiai Wahab. Tokoh-tokoh lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan, KHR. Asnawi, Kiai Nawawi, Kiai Nakhrawi, Kiai alwi Abdul Aziz, dan beberapa ulama lain yang berada di bawah pimpinan Kiai Wahab berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, yang menghasilkan keputusan:[7]
1.      Mengirm delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Sa’ud agar-agar hukum menurut empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaanya.
2.      Membentuk suatu Jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.
Pendelegasian ke Makkah dipercaya kepada Kiai Wahab dan Syaikh Ghanaim, meskipun gagal berangkat akan tetapi tetap sukses dalam missinya dengan mengirim telegram. Dengan demikian, Kiai Wahab tidak bersedia menduduki Rais Akbar dalam NU. Jabatan tertinggi itu diserahkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari karena sebagai senior dan Kiai Ahmad Dahlam dari Surabaya sebagai wakilnya. Sedangkan presiden tanfidiyahnya dipercayakan kepada H. Hasan Gippo. Sementara Kiai Wahab sendiri merasa cukup menjadi Khatib ‘Am (Sekretaris umum) syuriah. Namun, nafas pergerakan NU tidak dapat terlepas dari peran serta Kiai Wahab.[8]
Pada usia NU yng ke 15 tahun, NU telah mempunyai beberapa badan otonom, diantaranya ANU (Anshor Nahdlatul Ulama) dan gerakan Wanita Muslimat. Di samping itu NU mulai mengarahkan program-program di bidang pertanian dan ekonomi. Maka dibentuklah sebuah badan otonom yang bernama PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) dsn Nahdlatul Ulama di bagian ekonomi. Dilanjutkan lagi dengan menerbitkan majalah Suara Nahdlatul Ulama yang selama tujuh tahunu di pimpin langsung oleh Kiai Wahab selaku sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksinya. Kemudian menerbitkan Berita Nahdlatul Ulama yaang tekhnik dan jurnalistiknya di bawah asuhan Kiai Mahfudz Siddiq. Mendampingi dua majalah tersebut, berikutnya terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Umar Burhan, dan Terompet Anshor di bawah kepemimpinan Tarmyis Khudlory, serta majalah yang berbahasa Jawa Penggugah (Pembangun) yang mula-mula dipimpin oleh KHR. Iskandar, kemudian diganti Syaifuddin Zuhri.[9]
Pada saat penjajahan Jepang yang tidak ada bedanya dengan penjajahan Belanda. Jepang telah menghancurkan bangunan-bangun, struktur politik, ekonomi dan sosial yang selama ini dibina oleh Hindia-Belanda. Jepang merampas kekayaan Tanah Air dan menghancurkan kebudayaan serta adat istiadat bangsa. Di tengah-tengah kekacauan yang merata seluruh masyarakat, Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang dengan alasan yang tidak jelas. Kejadian tersebut menimbulkan kegoncangan dikalangan NU, apalagi disusul dengan ditangkapnya Kia Mahfudz Siddiq Ketua PBNU dengan tuduhan telah melakukan gerakan anti Jepang. Kemudian disusul lagi dengan ditangkapnya ulama-ulama dan tokoh-tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang dicari-cari oleh Jepang.
Peristiwa yang demikian telah menampilkan Kiai Wahab yang siap secara lahir batin untuk melakuakan pembebasan terhadap para Kiai yang ditangkap oleh Jepang. Kiai Wahab didampingi Kiai Wahid Hasyim yang memiliki intelegensia serta keberanian yang cermat. Kiai Wahab berulang-ulang mengunjungi Saikoo Sikikan (panglima tertinggi bala tentara Jepag di Jawa), Guiseikan (kepala pemerintahan Militer Jepang di Jakarta), Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya) dan pembesar yang lain yang dapat ditemui, selama hampir lima bulan seluruh waktunuya dihabiskan untuk melakukan pembebasan. Setelah melampaui perjuangan yang keras dan banyak menanggung resiko, Kiai Hasyim Asy’ari dapat dibebaskan. rAkan tetapi Kiai Wahab tidak berhenti sampai disini, Kiai Wahab pergi mondar-mandir ke Wonosobo melalui pengadilan Jepang untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU yang menjadi tulang punggung NU di Jawa Tengah. Dengan semangat yang tidak pernah padam meskipun berbagai rintangan yang menghadang, kurang lebih empat bulan lamanya 12 orang tokoh ulama tersebut baru dapat dibebaskan. Kiai Wahab juga memperjuangkan untuk membebaskan para ulama-ulama yang ditahan Jepang di daerah-daerah lain.
Pada bulan agustus 1945 sampai pada bulan desember 1949 diisi penuh dengan perjuangan politik dan militer. Pada waktu ini juga, PBNU hijrah dari Surabaya, setelah kota Pahawan ini diduduki oleh sekutu dan Belanda. Pada mulanya hijrah ke Pasuruan lalu ke Madiun. Kemudian kembali ke Surabaya dan pada akhirnya pindah ke Jakarta. Kiai Wahab bersama Ki Hajar, Douwes Dekker (setia budi), Radjiman Wedyoningrat diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, sebuah Dewan untuk memberi nasehat baik diminta atau tidak kepada Soekarno-Hatta (Pimpinan Negara). Kiai Wahab bukan lagi sebatas tokoh NU, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang disegani dan dimuliakan.
Pada waktu partai Masyumi mengadakan sidang di Yogyakarta dalam rangka menaggapi persetujuan Renville yang diwarisi oleh kabinet Hatta, Kiai Wahab sepakat dengan duduk dalam kabinet yang akan  melaksanakan persetujuan Renville karena persetujuan tersebut merupakan persetujuan antara negara dengan negara. Meskipun perjanjian Renville kita anggap sebagai perkara munkar yang merendahkan martabat kemerdekaan. Akan tetapi, menurut agama kita berkewajiban untuk melenyapkan tiap-tiap yang munkar dengan kekuatan yang maksimal dan dapat terlaksana ketika menduduki di dalam kabinet Hatta. Sekalipun perundingan politik menghadapi Belanda terus berlangsung, namun pertempuran di seluruh medan tersu berkobar. Sebagai pemimpin barisan Kiai, maka Kiai Wahab dengan sendirinya tampil dengan di depan dalam berabagai front pertempuran mendampingi pemuda-pemuda yang sedang mempertaruhkan nyawanya.
Selama enam tahun dari tahun 1945-1951 NU menjadi anggota masyumi, pada tahun 1951 Kiai Wahab didampingi Kiai Wahid mencetuskan gagasan untuk menjadikan NU sebagai partai politik melalui suatu prosedur yang demokratis dan menjadikan NU keluar dari Masyumi. Namun terdapat berita buruk setelah pelaksaan muktamar NU ke 17 di Madiun, 25 Mei 1947. Agresi militer Belanda yang pertama pada tanggal 21 juli 1947 berhasil merebut markas tertinggi Hizbullah dan Sabilillah di malang. berita demukian semakin memperburuk demikian sampai kepada KH. Hasyim Asy’ari, seketika juga KH. Asy’ari memegang kepalanya dan jatuh pingsan, beliau mengalami pendarahan otak. Pada malam hari itu juga tanggal 25 juli 1947 Ra’is Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari berpulag ke Rahmatullah. Kedudukanya digantikan oleh Kiai Wahab dengan sebutan Rais ‘Am NU.
Setelah muktamar NU ke-25, dihadiri 333 cabang NU di seluruh Indonesia menyatukan suara sehingga Kiai Wahab kembali terpilih menjadi Rais ‘Am. Akan tetapi sejarah mencatat lain, Kiai Wahab tidak dapat melanjutkan tanggung jawabnya. Kiai Wahab Hasbullah meninggal dunia, empat hari setelah muktamar, pada tanggal 9 desember 1971 di rumah kediamannya di Tambakberas Jombang.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, dkk. Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: LTn-NU bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. 1995.
Djohan Efendi. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2010.
Ida Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme. Jakarta: Erlangga. 2004.




[1] Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama, LTn-NU bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 28.
[2] Kiai Khalil merupakan Kiai paling masyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Kiai Khalil sebagai seorang Kiai tua yang paling tenar ketika itu, meyakinkan para pengikutnya akan kebesaran Kiai Hasyim Asy’ari, dengan cara membawa para pengikutnya untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Kiai Hasyim Asy’ari di bulan puasa. Para Kiai menganggap dan para pengikutnya sebagai isyarat bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan menjadi seorang Kiai yang lebih masyur dari pada Kiai Khalil, dan merupakan pengakuan dari Kiai Khalil sendiri bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ‘alim yang tinggi sekali ilmunya.
[3] Ibid
[4] Ibid. 30
[5] Ibid. 30               
[6] Abdurrahman Wahid, dkk, Biografi 5 Rais’Am Nahdlatul Ulama. Hlm. 32.
Kiai Wahab tidak menyia-nyiakan lembaga pembinaan kader ketika Kaum terpelajar di Surabaya mendirikan “Islam Study Club” yang banyak dikunjungi pemimpin-pemimpin pergerakan. Ia melakukan kontak dan berkenalan dari dekat dengan dengan tokoh-tokoh pergerkan Indonesia, diantaranya Dr. Sutomo.
[7] Ibid. Hlm. 34
[8] Kiai Wahab sebagai pencetus utama ide sekaligus bidang yang melahirkan NU. Kiai Wahab menyadari bahwa Jama’ah ini tidak lahir di tengah-tengah orang-orang yang lagi berkuasa dan bukan di tengah-tengah berkecamuknya konflik politik. Jama’ah ini lahir di tengah-tengah kebangkitan aspirasi pesantren, diantara kiai dan santri-santrinya yang jauh dari jangkauan penguasa pemimpin politik. Kiai Wahab dapat dikatakan sebagai wujud dari  NU dalam praktek. Suatu kombinasi integral antara taqwa, ilmu, akhlaq, dedikasi, dan berkarya.
[9] Di samping itu Nahdlatul Ulama telah mengorganisir madrash/sekolah yang ribuan jumlahnya serta tersebar di seuruh tanah air, yang dibiayai sediri oleh warganya karena menolak langsung subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.  

Sabtu, 12 September 2015

Konflik NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Konflik NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Nahdlatul Ulama berdiri pada 1926 dan Muhammadiyah berdiri pada 1912 menyatakan sebagai dua organisai terbesar di dunia, yang mana lebih dari 40 juta adalah pengikut Nahdlatul Ulama dan lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah.[1] Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia ini. Sebagai sebuah organisasi sosial-keagamaan NU dan Muhammadiyah memiliki peran besar terhadap proses demokrasi dari berbagai pandangan, sikap, sebenarnya tidak hanya fokus pada persoalan-persoalan kehidupan sosial-keagamaan para warganya. Akan tetapi, dalam sejarahnya kedua organisasi ini ikut terjun langsung dalam kehidupan politik. Kedua oragnisasi ini memiliki kebijakan politik yang tidak memaksakan warganya untuk memilih partai-partai tertentu, termasuk tidak memaksakan untuk memilih partai yang dilahirkan di antara ke dua oraganisi ini.[2]
Sebagai organisasi yang pada akhirya melahirkan partai politik sendiri, banyak kasus yang terjadi, dan pada kasus tersebut merupakan konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk saling memenangkan partainya sendiri. Meskipun PAN bukanlah Muhammadiyah dan PKB, serta PNU, PKU dan PNU bukanlah Nahdlatul Ulama. Namun setiap orang mengetahui bahwa partai-partai tersebut dilahirkan oleh tokoh-tokoh dari kedua oragnisasi tersebut, sehingga partai-partai ini dinilai sebagai representasi dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[3] Sehingga prolehan suara dari partai-partai ini, dalam pemilu legislatif maupun Presiden seringkali terjadi dan dinilai sebagai representasi dari pengikut antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sebelum dilahirkannya Partai Politik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kedua oranganisasi ini berjalan harmonis, hanya saja perbedaan pendapat mengenai qanut, tahlil dan sejenisnya. Namun pada saat ini, perbedaan hal demikian telah dihilangkan digantikan dengan konflik Politik. Dikarenakan Nahdlatul Ulama dan Muhammdiyah memiliki kepentingan lain untuk menduduki suatu kekuasaan, baik kekuasaan dalam sistem negara maupun kekuasaan lainnya.
Kekuasaan itulah yang menentukan untuk berjalannya kedua organisasi tersebut, dari sekian banyak pengikutnya dicekoki untuk mewujudkan partai politiknya yang dilahirkan. Namun penulis tidak akan memperpanjang lebar mengenai konflik yang saling merebutkan kekuasaan untuk diduduki dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang diperjuangkan. Karena penulis meneliti tentang konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [4] Sehingga penulis memiliki rumusan masalah bahwa apa yang melatarbelangi terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta? Dalam hal apa saja konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga?

Pembahasan
UIN Sunan Kalijaga di kenal sebagai kampus putih, kampus rakyat, di mana di dalamnya baik dosen ataupun mahasiswa memiliki organisasi tersendiri, sehingga seringkali terjadi suatu konflik baik konflik individu dan individu, individu dengan kelompok, dan konflik kelompok dengan kelompok. Hal demikian, yang seringkali terjadi konflik di UIN Sunan Kalijaga adalah konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga merupakan konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Berbicara politik dapat terlihat bahwa konflik tersebut dipengaruhi oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi dan menguasai.[5]
Perebutan kekuasaan untuk merebutkan struktur sosial yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga menjadi latar belakang terjadinya konflik. Hal demikian, ada yang terjadi konflik secara sehat atau membangun, namun yang sering terjadi adalah konflik yang tidak membangun, akan tetapi untuk kepentingan sendiri dari salah satu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Konflik antara NU dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga terdapat bentuk-bentuk konflik yang mencolok baik dikalangan mahasiswa ataupun ditingkat birokrasi.[6] Hal demikian baru saja terjadi pada saat pemilihan Rektor dan Dekanat UIN Sunan Kalijaga. Pemilihan tersebut terdapat kubu-kubu dari masing-masing kibaran bendera, namun bendera tersebut hanyalah dua bendera yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan pada pemilihan Dekanat mereka yang mencalokan diri dari masing-masing fakultas dan dari antara dua bendera ini, mereka semata-mata hanya sebatas formalitas saja. Karaena pada faktanya walaupun ada calon yang lolos seleksi, namun yang lolos demikian tidak terpilih menjadi Dekanat, dikarenakan dari awal sudah dibagikan bahwa di fakultas ini bagian Nahdlatul Ulama sedangkan di fakultas yang lainnya bagian Muhammadiyah. Konflik demikian terjadi dalam bentuk konflik politik  antar golongan dalam birokrasi.[7] 

Penutup
Latar belakang terjadinya konflik Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disebabkan karena kepentingan politik untuk menduduki kekuasaan atau kursi-kursi tertentu dalam tatanan birokrasi. UIN Sunan Kalijaga Dalam hal konflik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merukan konflik yang berbentuk Konflik politik antargolongan dalam birokrasi. Sedangkan dalam tingkat Mahasiswa seringkali terjadi konflik antara NU dan Muhammadiyah dikarenakan saling berjuang dibawah kibaran benderanya sebagai identitas ideologi.

Daftar Pustaka
Asyari Suaidi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LkiS. 2009
Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2010
Budiati Lilin, Edi Santosa. Manajemen Konflik. Banten: Universitas Terbuka. 2014
Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2013
Georg Ritzer. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012







[1] Nalar politik NU dan Muhammadiyah. Hlm 1
[2] Para warga NU dan Muhammadiyah memiliki ruang yang luas untuk menentukan pilihan partainya. Bagi para warga kedua organisasi ini mbebas menentukan sikap dan pilihan politiknya sendiri tanpa adanyan tekanan dan ancaman untuk mengikuti induk organisasinya. Dalam buku Nalar Politik NU dan Muhammadiyah dituliskan oleh pengantar redaksi bahwa “pada era setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang kemudian populer degan sebutan era Reformasi, banyak ilmuan dan dan tokoh dari berbagai kalangan yang tertarik untuk memasuki dunia politik, tidak terkecuali tokoh-tokoh penting dari organisasi-oragnisasi sosial-keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah. Pada era ini banyak tokoh baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah yang bukan hanya terjun ke dunia politik, melainkan bahkan mendorong untuk dibentuknya partai politik yang menjadi representasi dari organisasi sosial-keagamaan yang mereka anut. Oleh karena itu, tidak heran ketika lahir Partai Amanat Nasional (PAN) yang lahir dari tokoh Muhammadiyah dan juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari tokoh Nahdlatul Ulama. Bahkan dari rahim NU ini juga muncul partai-partai politik lain: PNU, PKU, dan SUNI, meskipun ketiga partai tersebut terakhir ini tidak lahir secara resmi dari organisasi induknya”.
[3] Oleh karena itu, citra PKB tidak akan lepas dari Nahdlatul Ulama, sedangkan citra PAN tidak mungkin bisa dilepaskan dari Muhammadiyah.
[4] Konflik demikian akhir-akhir ini sejauh yang saya ketahui bahwa di UIN Sunan Kalijaga seringkali terjadi konflik dikarenakan kepentingan politik.
[5] Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Hlm. 34
[6] “Ketika dalam sebuah instansi, Ideologi  akan senantiasa kita bawah baik secara nilai atau sebatas simbol. Karena dibalik semua itu, ada yang namanya kepentingan atau visi-misi yang tersirat atau tersurat, baik individu maupun kelompok. Maka tidak heran ketika ada dualisme kekuasaan. Contoh kecilnya saja ditingkatan Mahasiswa banyak kita temukan oragnisasi-organisasi yang berjuang di bawah bendera hijau atau simbol matahari sebagai identitas ideologi. Beum lagi ditingkatan birokrasi yang kental dengan kepentingan dan kursi kekuasaan”. Hasil wawancara dengan Haryono sebagai ketua HM-J KPI Fakultas Dakwah.
[7] Soekanto, sorjono membagi bentuk konflik menjadi 5 bagian yaitu: a. Konflik pribadi b. Konflik rasial c. Konflik antar kelas sosial d. Konflik politik antar golongan dalam masyarakat e. Konflik berskala internasional antar negara. (Manajemen Konflik:  Cetakan kedua, Juni 2014 hlm. 1.29 )

Sepotong Kisah Pembentukan Desa Tamidung Kecamatan Batang-batang



Sepotong Kisah Pembentukan Desa Tamidung Kecamatan Batang-batang

Saya sedikit ragu dan takut ketika mendapati akan menuliskan sejarah desa saya, karena Sejarah merupakan kejadian yang benar-baenar terjadi pada masa  lampau. Saya takut karena sebelumnya tidak ada yang menuliskan tentang desa saya, yaitu desa Tamidung Kecamatan Batang-batang Kabupaten Sumenep Madura, hanya saja saya akan menuliskan cerita-cerita atau dapat dikatakan sebagai dogeng seingat saya, karena cerita-cerita demikian didapatkan sewaktu dulu masih kecil dan sewaktu masih duduk di bangku Madrasah.
Sebenarnya kalau mengenai sejarah Sumenep sudah dibukukan, sejarah dari kerajaan-kerajaan samapi pada asal-usul terbentuk desa-desa yang ada di Sumenep. Akan tetapi, tidak banyak orang yang memiliki buku tersebut. Saya teringat semester kemaren saya pernah bertanya kepada teman saya tentang buku sejarah Sumenep, kata teman saya ada salah satu buku tentang Babad Sumenep. Akan tetapi buku itu terdapat di Museum Sumenep dan juga salah satu budayawan madura memiliki buku tersebut yaitu Pak D. Zawawi Imron. Untuk melacak kembali siapa lagi yang mempunyai buku itu, saya rasa tidak cukup dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka dari itu saya hanya akan menulis secuil penamaan Desa Tamidung yang diambil dari peristiwa Raja Sumenep. Dikarenakan Desa-desa yang ada di kabupaten sumenep memang sebagian besar diambil dari peristiwa raja sumenep yang ke 13 yaitu Pangeran Joko Tole.
Pangeran Joko Tole anak dari Adi Poday (raja sumenep ke 12) dengan Raden Ayu Potre Koneng yang hamil melalui perkawinan bathin (melalui mimpi). Joko Tole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460)[1]. Pangeran Joko Tole terkenal dengan pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memiliki kesaktian yang tinggi. Ia mempunyai kuda terbang (Kuda Resang Panole) yang sampai saat ini kuda terbang Joko Tole menjadi symbol sumenep.
Kesaktiannya Raja joko tole mulai terlihat sejak berumur 6 tahun yang pada saat itu dapat membuat alat-alat perkakas dengan tanpa alat apapun, dengan kekuatan yang dimiliki Joko Tole dapat membantu para pekerja pandai besi yang sedang kelelahan.
Pangeran Joko Tole terlibat dalam perang besar dan dimenangkan oleh Joko Tole saat melawan panglima perang dari negeri china yaitu laksamana Zheng He. Pasukan Laksamana Zheng He dihancurkan oleh Joko Tole, ketika itu Joko Tole menunggangi kuda terbangnya kemudian mendapati bisikan dari pamannya, bisikan tersebut adalah perintah untuk memukul, kemudian dengan perintah demikian Joko Tole melambaikan (Pecchot) cambuknya yang mengkilap, separti petir menyambar, menghancurkan semua kapal pasukan Zheng He.
Kekuasaan Joko Tole berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh putra pertamanya yang bernama Arya Wigananda.
D Zawawi Imron pernah menceritkan melalui tulisan tentang akhir dari kehidupan Joko Tole. Di hari-hari terakhirnya Joko Tole berada di desa bernama Lapataman. Pada zaman Belanda katanya Lapataman berada di Daerah Distrik Timur. Namun, sekarang distrik itu sudah tidak ada lagi. Desa Lapataman ada di kecamatan Dungkek kabupaten Sumenep. Nah, keraton Joko Tole ada di desa ini. Joko Tole berkuasa di Madura bagian timur sampai ke Poday, Raas, Kangean, Sakala, Sawobi, Pagherungan juga ada dibawah kekuasaan Pangeran Joko Tole yang disebut juga Adipati Kuda Resang Panole.
Pada suatu hari Joko Tole mulai sakit-sakitan. Beliau merasa ajalnya sudah dekat, Joko Tole meminta untuk diantar ke Sumenep. Karena sudah tidak kuat lagi naik kuda atau beliau tidak dapat lagi menunggangi kuda sendiri, akhirnya Joko Tole diusung dan diiringi banyak orang. Dari Lapataman beliau diusung melewati desa Ngen-Bungen, dari Ngen-Bungen melewati sebelah utara Taman Sari. Dari Taman Sari, melewati Nyabakan Timur, Jenang, Totosan akhirnya sampai ke suatu tempat di sebelah barat desa Totosan.
Di situ Joko Tole merasa ajalnya akan tiba, mereka berhenti di sana. Kemudian di tempat itulah Joko Tole dibaringkan, dan menurut cerita disitulah nyawanya dicabut Allah SWT. Kemudian orang-orang menamai tempat itu dengan Tang-Batang. Sesungguhnya Tang-Batang barasal dari kata Batang, hanya saja kebiasaan orang Madura mengulang kata dengan menggunakan akhir kata sebagai tambahan diawal kata. Batang sendiri dalam bahasa Indonesia berarti Bangkai. Artinya bangkai tersebut merupakan mayat dari Pangeran Joko Tole. Kemudian orang-orang menjadikan tempat meninggalnya Joko Tole sebagai Desa Batang-batang dan msekaligus sebagai kecamatan Batang-bantang sampai saat ini.
Setelah wafat, Joko Tole dibawa lagi ke barat, orang-orang mengusung kembali untuk mengantarkan jenazah Joko Tole ke Sumenep. Ke barat dari Batang-batang para iringan yang ikut mengusung Jenazah Joko Tole merasa Lempo. Kemudian dijadikan desa yang bernama Kolpo. Kolpo ini sebenarnya terjadi pelesetan bahasa, kebiasaan orang Madura, dari Lempo menjadi Kolpo. Lempo dalam bahasa Indonesia berarti ngantuk. Akan tetapi, para iringan tidak berhenti di tempat ini, mereka memaksakan untuk melanjutkan. Dengan memaksakan rasa ngantuk itulah para iringan pada akhirnya tidak jauh dari tempat tadi mereka Ta-tedung (dalam bahasa Indonesia tertidur). Nah, di tempat inilah yang sampai sekarang dinamakan Desa Tamidung, yang merupakan desa saya. Maka dari itu, saya tidak begitu mengetahui sejarah rinci terbentuknya desa saya, hanya saja awal mula dinamakan desa Tamidung memang diambil karena menjadi tempat beristirahanya atau Ta-tedung para iringan yang mengantarkan jenazah Pangeran Joko Tole.
Perjalanan mengantarkan jenazah Joko Tole tidak berhenti di desa saya, setelah beberapa waktu beristirahat para iringan sudah merasa kuat kemabali untuk meneruskan perjalanan. Mereka mengangkat kemabali jenazah Pangeran Joko Tole. Meraka membawa ke barat melewati Air Merah. Akhirnya sampai di desa Lanjuk, menurut cerita pikulan yang digunakan untuk  mengusung Joko Tole, patah. Maka dikuburkanlah Joko Tole di desa ini, karena tidak ada yang bisa dipakai untuk membawa jenazah Joko Tole ke Sumenep. Pada desa ini awalnya karena pada saat itu musim kemarau, desa tersebut dilanda kekeringan, tidak ada air untuk memandikan jenazah beliau. Kemudian Joko Widi adik dari Joko Tole menancapkan Tongkat peninggalan neneknya, dari tancapan tongkat itulah keluar air untuk memandikan jenazah Joko Tole. Sumber air itu di madura dinamakan Sa-Asa. Setalah dimandikan Joko Tole dikuburkan di kampung Sa-Asa. Nama yang diambil dari sumber mata air yang keluar dari tancapan tongkat Joko Widi. Sampai sekarang banyak orang yang berziarah ke kuburan Joko Tole yang berada di kampung Sa-Asa Desa Lanjuk Kecamatan Manding.

Sepintas kondisi Sosial, Budaya dan Agama Masyarakat Desa Tamidung

Dari awal pembentukan desa Tamidung yang diambil dari petikan kisah Pangeran Joko Tole, Desa Tamidung merupakan desa petani. Masyarakat desa ini terholong pada desa yang masih menggunakan cara-cara atau sistem lama dalam kehidupan bersosial dan berbudaya. Desa Tamidung dapat digoongkan pada desa yang tertinggal karena dalam kehidupan masyarakatnya tergantung pada pertanian. Mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan pokok ataupun kebutuhan tambahan.
Kondisi sosial dan budaya cukup baik, karena menggunkan sistem lama. Cara hubungan antara yang satu dengan yang lain sangat erat, mereka kental dengan budaya lama, misalkan budaya gotong royong dalam berbagai apapun. Lihat saja dalam pembuatan rumah masyarakat tamidung hanya sedikit saja yang menggunakan para pekerja bayaran, yang banyak adalah tetangga-tetangga ikut membantu secara meramaikan penyelesaian pembuatan rumah tersebut.
Dalam hal Agama masyarakat Tamidung kental dengan agama lama, meskipun dapat dikatakan 99% masyarakat Tamidung beragama Islam. Akan tetapi mereka tidak meninggalkan budaya-budaya peninggalan nenek moyang sebelum Islam menyebar di Madura. Akan tetapi merekan mengganti dengan spirit keislaman. Misalkan dalam ritual-ritual di isi dengan tahlilan.
Dalam budaya lama dengan ritus keislaman dapat dilihat dalam pola kehidupan yang tergantung pada pertanian, karena masyarakat tamidung dalam bertani masih bergantung pada kondisi alam dan pada  musim. Maka dalam bercocok tanam banyak itual-ritual yang dilakukan, misalkan melakukan ritual mendatangkan hujan setelah lama musim kemarau. Ritual ini menjadi budaya di masyarakat Tamidung, nama dari budaya tersebut adalah budaya Ojhung.
Dilanjut lagi pada ketika memulai bercocok tanam mereka tidak sembarang bercocok tanam. Terlebih dahulu melihat primbon. Hari apa yang bagus dan pada pukul berapa tepat pasaran apa (legi, pahing atau yang lainnya). Setelah itu dibuka dengan ritual, dengan mengndang seseorang yang dapat dikatakan berilmu lebih dalam salah satu kampung, diundang untuk melakukan ritua di sawah atau di tempat-tempat yang akan dijadikan tempat untuk bercocok tanam. Isi dari ritual itu, orang yang diundang tadi membacakan Al-Quran di tengah sawah dan ada beberapa hidangan yang diikutkan dalam pembacaan Al-Quran tersebut. Harapan dari ritual ini untuk keselamatan dalam dan keberkahan. Setelah selesai panin tiba ritual kembali dilakukan dengan maksud mensyukuri atas hasil dari pertanian pada musim tersebut.
Kalau misalkan pada masyarakat ini tidak melakukan ritual semacam tadi, mereka dianggap melakukan penyimpangan. Dan diyakini semua yang dilakukan akan berakhir dengan sia-sia tanpa hasil yang didapatkan. Hal semacam ini, menurut Emaile Durkhiem[2] bahwa, pada tingkat tertentu, merupakan fakta sosial yang ditemukan dalam pikiran para individu. Akan tetapi, dia percaya bahwa ketika orang mulai berinteraksi dengan cara-cara yang kompleks, interaksi-interaksi mereka akan “mematuhi hukum yang dimiliki mereka semua”.  Kesimpulan yang dapat diambil, pada masyarakat Tamidung kebiasaan-kebiasaan lama akan terus dijalankan. Kepercayaan mereka terhadap suatu hukum berangkat dari kesadaran nurani. Jadi tidak gampang untuk meninggalkan atau mengubah pada hukum-hukum yang baru.



Yogyakarta, 09 September 2015


Ilyasi        
13540030


[2] Georg Ritzer, Teori Sosiologi, 2012, hl. 135