Sabtu, 12 September 2015

Sepotong Kisah Pembentukan Desa Tamidung Kecamatan Batang-batang



Sepotong Kisah Pembentukan Desa Tamidung Kecamatan Batang-batang

Saya sedikit ragu dan takut ketika mendapati akan menuliskan sejarah desa saya, karena Sejarah merupakan kejadian yang benar-baenar terjadi pada masa  lampau. Saya takut karena sebelumnya tidak ada yang menuliskan tentang desa saya, yaitu desa Tamidung Kecamatan Batang-batang Kabupaten Sumenep Madura, hanya saja saya akan menuliskan cerita-cerita atau dapat dikatakan sebagai dogeng seingat saya, karena cerita-cerita demikian didapatkan sewaktu dulu masih kecil dan sewaktu masih duduk di bangku Madrasah.
Sebenarnya kalau mengenai sejarah Sumenep sudah dibukukan, sejarah dari kerajaan-kerajaan samapi pada asal-usul terbentuk desa-desa yang ada di Sumenep. Akan tetapi, tidak banyak orang yang memiliki buku tersebut. Saya teringat semester kemaren saya pernah bertanya kepada teman saya tentang buku sejarah Sumenep, kata teman saya ada salah satu buku tentang Babad Sumenep. Akan tetapi buku itu terdapat di Museum Sumenep dan juga salah satu budayawan madura memiliki buku tersebut yaitu Pak D. Zawawi Imron. Untuk melacak kembali siapa lagi yang mempunyai buku itu, saya rasa tidak cukup dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka dari itu saya hanya akan menulis secuil penamaan Desa Tamidung yang diambil dari peristiwa Raja Sumenep. Dikarenakan Desa-desa yang ada di kabupaten sumenep memang sebagian besar diambil dari peristiwa raja sumenep yang ke 13 yaitu Pangeran Joko Tole.
Pangeran Joko Tole anak dari Adi Poday (raja sumenep ke 12) dengan Raden Ayu Potre Koneng yang hamil melalui perkawinan bathin (melalui mimpi). Joko Tole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460)[1]. Pangeran Joko Tole terkenal dengan pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memiliki kesaktian yang tinggi. Ia mempunyai kuda terbang (Kuda Resang Panole) yang sampai saat ini kuda terbang Joko Tole menjadi symbol sumenep.
Kesaktiannya Raja joko tole mulai terlihat sejak berumur 6 tahun yang pada saat itu dapat membuat alat-alat perkakas dengan tanpa alat apapun, dengan kekuatan yang dimiliki Joko Tole dapat membantu para pekerja pandai besi yang sedang kelelahan.
Pangeran Joko Tole terlibat dalam perang besar dan dimenangkan oleh Joko Tole saat melawan panglima perang dari negeri china yaitu laksamana Zheng He. Pasukan Laksamana Zheng He dihancurkan oleh Joko Tole, ketika itu Joko Tole menunggangi kuda terbangnya kemudian mendapati bisikan dari pamannya, bisikan tersebut adalah perintah untuk memukul, kemudian dengan perintah demikian Joko Tole melambaikan (Pecchot) cambuknya yang mengkilap, separti petir menyambar, menghancurkan semua kapal pasukan Zheng He.
Kekuasaan Joko Tole berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh putra pertamanya yang bernama Arya Wigananda.
D Zawawi Imron pernah menceritkan melalui tulisan tentang akhir dari kehidupan Joko Tole. Di hari-hari terakhirnya Joko Tole berada di desa bernama Lapataman. Pada zaman Belanda katanya Lapataman berada di Daerah Distrik Timur. Namun, sekarang distrik itu sudah tidak ada lagi. Desa Lapataman ada di kecamatan Dungkek kabupaten Sumenep. Nah, keraton Joko Tole ada di desa ini. Joko Tole berkuasa di Madura bagian timur sampai ke Poday, Raas, Kangean, Sakala, Sawobi, Pagherungan juga ada dibawah kekuasaan Pangeran Joko Tole yang disebut juga Adipati Kuda Resang Panole.
Pada suatu hari Joko Tole mulai sakit-sakitan. Beliau merasa ajalnya sudah dekat, Joko Tole meminta untuk diantar ke Sumenep. Karena sudah tidak kuat lagi naik kuda atau beliau tidak dapat lagi menunggangi kuda sendiri, akhirnya Joko Tole diusung dan diiringi banyak orang. Dari Lapataman beliau diusung melewati desa Ngen-Bungen, dari Ngen-Bungen melewati sebelah utara Taman Sari. Dari Taman Sari, melewati Nyabakan Timur, Jenang, Totosan akhirnya sampai ke suatu tempat di sebelah barat desa Totosan.
Di situ Joko Tole merasa ajalnya akan tiba, mereka berhenti di sana. Kemudian di tempat itulah Joko Tole dibaringkan, dan menurut cerita disitulah nyawanya dicabut Allah SWT. Kemudian orang-orang menamai tempat itu dengan Tang-Batang. Sesungguhnya Tang-Batang barasal dari kata Batang, hanya saja kebiasaan orang Madura mengulang kata dengan menggunakan akhir kata sebagai tambahan diawal kata. Batang sendiri dalam bahasa Indonesia berarti Bangkai. Artinya bangkai tersebut merupakan mayat dari Pangeran Joko Tole. Kemudian orang-orang menjadikan tempat meninggalnya Joko Tole sebagai Desa Batang-batang dan msekaligus sebagai kecamatan Batang-bantang sampai saat ini.
Setelah wafat, Joko Tole dibawa lagi ke barat, orang-orang mengusung kembali untuk mengantarkan jenazah Joko Tole ke Sumenep. Ke barat dari Batang-batang para iringan yang ikut mengusung Jenazah Joko Tole merasa Lempo. Kemudian dijadikan desa yang bernama Kolpo. Kolpo ini sebenarnya terjadi pelesetan bahasa, kebiasaan orang Madura, dari Lempo menjadi Kolpo. Lempo dalam bahasa Indonesia berarti ngantuk. Akan tetapi, para iringan tidak berhenti di tempat ini, mereka memaksakan untuk melanjutkan. Dengan memaksakan rasa ngantuk itulah para iringan pada akhirnya tidak jauh dari tempat tadi mereka Ta-tedung (dalam bahasa Indonesia tertidur). Nah, di tempat inilah yang sampai sekarang dinamakan Desa Tamidung, yang merupakan desa saya. Maka dari itu, saya tidak begitu mengetahui sejarah rinci terbentuknya desa saya, hanya saja awal mula dinamakan desa Tamidung memang diambil karena menjadi tempat beristirahanya atau Ta-tedung para iringan yang mengantarkan jenazah Pangeran Joko Tole.
Perjalanan mengantarkan jenazah Joko Tole tidak berhenti di desa saya, setelah beberapa waktu beristirahat para iringan sudah merasa kuat kemabali untuk meneruskan perjalanan. Mereka mengangkat kemabali jenazah Pangeran Joko Tole. Meraka membawa ke barat melewati Air Merah. Akhirnya sampai di desa Lanjuk, menurut cerita pikulan yang digunakan untuk  mengusung Joko Tole, patah. Maka dikuburkanlah Joko Tole di desa ini, karena tidak ada yang bisa dipakai untuk membawa jenazah Joko Tole ke Sumenep. Pada desa ini awalnya karena pada saat itu musim kemarau, desa tersebut dilanda kekeringan, tidak ada air untuk memandikan jenazah beliau. Kemudian Joko Widi adik dari Joko Tole menancapkan Tongkat peninggalan neneknya, dari tancapan tongkat itulah keluar air untuk memandikan jenazah Joko Tole. Sumber air itu di madura dinamakan Sa-Asa. Setalah dimandikan Joko Tole dikuburkan di kampung Sa-Asa. Nama yang diambil dari sumber mata air yang keluar dari tancapan tongkat Joko Widi. Sampai sekarang banyak orang yang berziarah ke kuburan Joko Tole yang berada di kampung Sa-Asa Desa Lanjuk Kecamatan Manding.

Sepintas kondisi Sosial, Budaya dan Agama Masyarakat Desa Tamidung

Dari awal pembentukan desa Tamidung yang diambil dari petikan kisah Pangeran Joko Tole, Desa Tamidung merupakan desa petani. Masyarakat desa ini terholong pada desa yang masih menggunakan cara-cara atau sistem lama dalam kehidupan bersosial dan berbudaya. Desa Tamidung dapat digoongkan pada desa yang tertinggal karena dalam kehidupan masyarakatnya tergantung pada pertanian. Mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan pokok ataupun kebutuhan tambahan.
Kondisi sosial dan budaya cukup baik, karena menggunkan sistem lama. Cara hubungan antara yang satu dengan yang lain sangat erat, mereka kental dengan budaya lama, misalkan budaya gotong royong dalam berbagai apapun. Lihat saja dalam pembuatan rumah masyarakat tamidung hanya sedikit saja yang menggunakan para pekerja bayaran, yang banyak adalah tetangga-tetangga ikut membantu secara meramaikan penyelesaian pembuatan rumah tersebut.
Dalam hal Agama masyarakat Tamidung kental dengan agama lama, meskipun dapat dikatakan 99% masyarakat Tamidung beragama Islam. Akan tetapi mereka tidak meninggalkan budaya-budaya peninggalan nenek moyang sebelum Islam menyebar di Madura. Akan tetapi merekan mengganti dengan spirit keislaman. Misalkan dalam ritual-ritual di isi dengan tahlilan.
Dalam budaya lama dengan ritus keislaman dapat dilihat dalam pola kehidupan yang tergantung pada pertanian, karena masyarakat tamidung dalam bertani masih bergantung pada kondisi alam dan pada  musim. Maka dalam bercocok tanam banyak itual-ritual yang dilakukan, misalkan melakukan ritual mendatangkan hujan setelah lama musim kemarau. Ritual ini menjadi budaya di masyarakat Tamidung, nama dari budaya tersebut adalah budaya Ojhung.
Dilanjut lagi pada ketika memulai bercocok tanam mereka tidak sembarang bercocok tanam. Terlebih dahulu melihat primbon. Hari apa yang bagus dan pada pukul berapa tepat pasaran apa (legi, pahing atau yang lainnya). Setelah itu dibuka dengan ritual, dengan mengndang seseorang yang dapat dikatakan berilmu lebih dalam salah satu kampung, diundang untuk melakukan ritua di sawah atau di tempat-tempat yang akan dijadikan tempat untuk bercocok tanam. Isi dari ritual itu, orang yang diundang tadi membacakan Al-Quran di tengah sawah dan ada beberapa hidangan yang diikutkan dalam pembacaan Al-Quran tersebut. Harapan dari ritual ini untuk keselamatan dalam dan keberkahan. Setelah selesai panin tiba ritual kembali dilakukan dengan maksud mensyukuri atas hasil dari pertanian pada musim tersebut.
Kalau misalkan pada masyarakat ini tidak melakukan ritual semacam tadi, mereka dianggap melakukan penyimpangan. Dan diyakini semua yang dilakukan akan berakhir dengan sia-sia tanpa hasil yang didapatkan. Hal semacam ini, menurut Emaile Durkhiem[2] bahwa, pada tingkat tertentu, merupakan fakta sosial yang ditemukan dalam pikiran para individu. Akan tetapi, dia percaya bahwa ketika orang mulai berinteraksi dengan cara-cara yang kompleks, interaksi-interaksi mereka akan “mematuhi hukum yang dimiliki mereka semua”.  Kesimpulan yang dapat diambil, pada masyarakat Tamidung kebiasaan-kebiasaan lama akan terus dijalankan. Kepercayaan mereka terhadap suatu hukum berangkat dari kesadaran nurani. Jadi tidak gampang untuk meninggalkan atau mengubah pada hukum-hukum yang baru.



Yogyakarta, 09 September 2015


Ilyasi        
13540030


[2] Georg Ritzer, Teori Sosiologi, 2012, hl. 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar