Senin, 19 September 2016

BUDAYA DAN PERAN ANTARA MASYARAKAT KOTA DAN MASYARAKAT DESA

(Tinjauan terhadap “Wanita Jawa dan Perannya: Perspektif Perdesaan dan Perkembangannya”)[1]

Oleh : Ilyasi [2]

Kekayaan budaya Indonesia merupakan suatu ekspresi dari banyak pulau yang ada di indonesia.  Banyaknya pulau tersebut membentuk tatanan dan pola hiup sosial yang berbeda. Mereka memiliki keyakinan (agama) dan dan pola pikir sesuai dengan daerah masing-masing.  keyakinan (agama) dapat dipahami sebagai bentukan dari masyarakat. Sehingga norma-norma agama yang diterima sangat sejalan dengan nilai –budaya yang ada pada masyarakat tersebut. Banyaknya pulau-pulau di Indonesia memiliki tingkat kepadatan penduduk yang berbeda-beda. Khususnya pulau Jawa menempati kepadatan penduduk yang tinggi, baik penduduk yang memang penduduk lokal maupun penduduk yang berasal dari luar Jawa. Penduduk yang berasal dari luar Jawa memilik berbagai faktor, ada untuk mengembangkan ilmu pengetahun ada pula untuk memenuhi faktor ekonomi. melihat tingkat dan kualitas pendidikan banyak masyarakat yang luar Jawa memilih untuk melanjutkan pendidikan di Jawa, seperti di Yogyakarta yang setiap tahun menempati tingkat kepadatan.
Yogyakarta sebagai salah satu yang mendapati kepadatan dan keramaian kesehariannya. Baik yang bertempat tinggal di kota maupun di desa. Akan tetapi di Yogyakarta sangat sulit atau sangat kabur untuk membedakan antara kota dan desa. Dengan adanya tingkat kemajuan teknologi dan komunikasi, membentuk penampilan dan pola pikir antara masyarakat kota dan desa sangat tipis untuk dibedakan.
Tinjauan terhadap tulisan Mohammad Damami yang berjudul Wanita Jawa dan Perannya : Perspektif Perdesaan dan Perkembangannya. Bahwa masyarakat Jawa terdapat ketimpangan antara masyarakat atau yang disebut dengan adanya kelas atau lapisan sosial. meskipun di Yogyakarta sendiri sangat sulit untuk membedakan antara masyarakat kota dan desa namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di Jawa terdapat  pusat dan pinggiran. Artinya yang dikatakan pusat adalah wilayah yang memiliki budaya yang besar. Sedangkan pinggiran adalah kebalikannya yaitu wilayah yang memiliki budaya yang kecil.[3] Walaupun sulit dibedakan masyarakat kota dan desa di Jawa, akan tetapi tampak ketimpangan ketika dilihat dari kekuatan ekonominya. Masyarakat Jawa rata-rata masih bermata pencaharian pertanian sedangkan di kota sudah mengikut-kembangkan dunia industri, masuk di sektor birokrasi, dan sudah mulai mengembangkan ekonomi kreatif.[4] Perluasan dunia industri berdampak pada semakin sempitnya lahan pertanian. Ketika managemen pertanian masih dengan pola yang lama, pendapatan masyarakat desa tidak akan mampu mengimbangi masyarakat kota dengan dunia industrinya. Kesejahteraan masyarakat desa tidak akan mampu bersaing dan mencapai kesejahteraan sepereti masyarakat kota. Dengan berbagai faktor yang terlihat bahwa pada masyarakat desa belum memiliki etos kerja yang tinggi, dan lemahnya daya dukung permodalan.[5]
Maka dari itulah masih tampak antara pusat dan pinggiran. pusat yang memiliki entitas budaya yang besar mampu memengaruhi entitas budaya yang lebih kecil yaitu masyarakat pinggiran. yang perlu digaris bawahi bahwa masyarakat kota (pusat) memiliki hubungan sosial yang tertutup dan cenderung individualis. Sedangkan masyakat desa sampai saat ini masih memertahankan tradisi lama dengan ke kolektifannya. Dilihat dari faktor keturunan masyarakat terbagi menjadi dua bagian, yaitu keturunan darah biru dan keturunan wong cilik (orang biasa). Hal ini sangat menampkan stratifikasi sosial. karena dari dulu Jawa menggunakan sistem kerjaan.[6] . Motivasi di kota adalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. sedangkan di desa adalah untuk memenuhi kepentingan bersama sehingga dengan sungguh-sungguh menjaga hubungan untuk memenuhi keutuhan sosial.  kelas sosial ini sangatlah tampak antara keturunan ningrat yang bertempat tinggal di keraton, jika dilihat dari bangunan Karaton sangat jelas dengan arsitektur yang bagus. Sedangkan keturunan orang biasa akan hidup di desa dengan gubuk biasa karena tidak akan mampu membuat banguan sebagus keraton. Belum lagi dalam penampilan dalam kesehariannya dengan berbagai pakaian yang istimewa tidak seperti orang desa dengan kadar seadanya.
Dengan adanya persaingan di kota, akan tampak ketimpangan gender. Wanita akan mendapati ruang yang terbatas. Desa yang memiliki keterbukaan bukan untuk persaingan akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan bersama. Maka wanita pun memilki peran yang bebas, sesuai dengan keinginan dan hal apa yang harus dipenuhui untuk kepentingan dalam masyarakat desa. Budaya di desa pada Jawa seringkali wanita memiliki peran ganda. Memang agama mengajarkan bahwa wanita adalah untuk dilayani, namun Jawa membentuk budaya untuk saling melayani demi keharmonisan sosial. dalam keluarga akan mendapati bagian sesuai dengan kemampuan atau tenaga yang dapat dikerjakan antara laki-laki dan perempuan (suami-istri). Misalkan yang seringkali terilhat ketika melakukan garapan tanah. Sang suami akan mengerjakan yang lebih berat, misalkan membajak tanah atau mencangkul sedangkan istri bagian mengerjakan menanam benih padi. Dari sinilah terlihat perbedaan budaya, pola hidup dan peran wanita dan laki-laki antara masyarakat kota (pusat) dan masyarakat desa.

Yogyakarta, 4 Mei 2016

Ilyasi




[1] Mohammad Damami, Dosen Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Mohammad Damami menulis bahwa “Tradisi besar adalah tradisi (entitas budaya) yang mampu memengaruhi terhadap tradisi (entitas budaya) yang lebih kecil atau lebih lemah. Sebaliknya tradisi kecil adalah tradisi yang hanya mampu bertahan untuk tradisi itu sendiri dan tidak mampu memengaruhi tradisi lainnya.
            [4] Ibid, 75.
[5] Berbicara permodalan sangatlah rumit dan menjijikkan. Karena akan sangat tampak jelas kelas-kelas sosial. dimana dulu Karl Max sudah menjelaskan tentang penindasan dari penguasa. Sistem kapitalisme sudah berkembang dengan pesat di Jawa. Perampasan hak milik tanah yang katakan Karl Max sudah sering terjadi di Jawa. Lahan-lahan untuk pertanian diambil alih secara paksa, semisal akan dibangunnya bandara di Kulon Progo. Sistem kapitalisme pada dasarnya memang dibentuuk bukan untuk berpihak kepada rakyat akan tetapi digunakan untuk menindas orang lain yang tidak memiliki modal. Negara saat ini, sangat jauh dari fungsi yang semestinya. Negara tidak lagi untuk menyejahterahkan rakyatnya. Akan tetapi membuat dan melaksanakan undang-undang atau peraturan untuk mempermudah jalan para kapitalis. Sehingga benar yang dikatakan Karl Max bahwa “buruh hanyalah mendapatkan uang dari kucuran peluhnya sendiri, sedangkan pemilik modal mengambil keuntungan atau laba dari buruh tersebut”.
[6] Mohammad Damami, hlm. 78-79