(Tinjauan terhadap “Wanita Jawa dan Perannya: Perspektif Perdesaan dan Perkembangannya”)[1]
Oleh : Ilyasi [2]
Oleh : Ilyasi [2]
Kekayaan budaya Indonesia merupakan suatu ekspresi dari
banyak pulau yang ada di indonesia.
Banyaknya pulau tersebut membentuk tatanan dan pola hiup sosial yang
berbeda. Mereka memiliki keyakinan (agama) dan dan pola pikir sesuai dengan
daerah masing-masing. keyakinan (agama)
dapat dipahami sebagai bentukan dari masyarakat. Sehingga norma-norma agama
yang diterima sangat sejalan dengan nilai –budaya yang ada pada masyarakat
tersebut. Banyaknya pulau-pulau di Indonesia memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang berbeda-beda. Khususnya pulau Jawa menempati kepadatan penduduk
yang tinggi, baik penduduk yang memang penduduk lokal maupun penduduk yang
berasal dari luar Jawa. Penduduk yang berasal dari luar Jawa memilik berbagai
faktor, ada untuk mengembangkan ilmu pengetahun ada pula untuk memenuhi faktor
ekonomi. melihat tingkat dan kualitas pendidikan banyak masyarakat yang luar
Jawa memilih untuk melanjutkan pendidikan di Jawa, seperti di Yogyakarta yang
setiap tahun menempati tingkat kepadatan.
Yogyakarta sebagai salah satu yang mendapati kepadatan
dan keramaian kesehariannya. Baik yang bertempat tinggal di kota maupun di
desa. Akan tetapi di Yogyakarta sangat sulit atau sangat kabur untuk membedakan
antara kota dan desa. Dengan adanya tingkat kemajuan teknologi dan komunikasi,
membentuk penampilan dan pola pikir antara masyarakat kota dan desa sangat
tipis untuk dibedakan.
Tinjauan terhadap tulisan Mohammad Damami yang berjudul
Wanita Jawa dan Perannya : Perspektif Perdesaan dan Perkembangannya. Bahwa
masyarakat Jawa terdapat ketimpangan antara masyarakat atau yang disebut dengan
adanya kelas atau lapisan sosial. meskipun di Yogyakarta sendiri sangat sulit
untuk membedakan antara masyarakat kota dan desa namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa di Jawa terdapat pusat dan
pinggiran. Artinya yang dikatakan pusat adalah wilayah yang memiliki budaya
yang besar. Sedangkan pinggiran adalah kebalikannya yaitu wilayah yang memiliki
budaya yang kecil.[3]
Walaupun sulit dibedakan masyarakat kota dan desa di Jawa, akan tetapi tampak
ketimpangan ketika dilihat dari kekuatan ekonominya. Masyarakat Jawa rata-rata
masih bermata pencaharian pertanian sedangkan di kota sudah mengikut-kembangkan
dunia industri, masuk di sektor birokrasi, dan sudah mulai mengembangkan
ekonomi kreatif.[4]
Perluasan dunia industri berdampak pada semakin sempitnya lahan pertanian.
Ketika managemen pertanian masih dengan pola yang lama, pendapatan masyarakat
desa tidak akan mampu mengimbangi masyarakat kota dengan dunia industrinya. Kesejahteraan
masyarakat desa tidak akan mampu bersaing dan mencapai kesejahteraan sepereti
masyarakat kota. Dengan berbagai faktor yang terlihat bahwa pada masyarakat
desa belum memiliki etos kerja yang tinggi, dan lemahnya daya dukung
permodalan.[5]
Maka dari itulah masih tampak antara pusat dan pinggiran.
pusat yang memiliki entitas budaya yang besar mampu memengaruhi entitas budaya
yang lebih kecil yaitu masyarakat pinggiran. yang perlu digaris bawahi bahwa
masyarakat kota (pusat) memiliki hubungan sosial yang tertutup dan cenderung
individualis. Sedangkan masyakat desa sampai saat ini masih memertahankan
tradisi lama dengan ke kolektifannya. Dilihat dari faktor keturunan masyarakat
terbagi menjadi dua bagian, yaitu keturunan darah biru dan keturunan wong cilik
(orang biasa). Hal ini sangat menampkan stratifikasi sosial. karena dari dulu
Jawa menggunakan sistem kerjaan.[6] .
Motivasi di kota adalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. sedangkan di
desa adalah untuk memenuhi kepentingan bersama sehingga dengan sungguh-sungguh
menjaga hubungan untuk memenuhi keutuhan sosial. kelas sosial ini sangatlah tampak antara
keturunan ningrat yang bertempat tinggal di keraton, jika dilihat dari bangunan
Karaton sangat jelas dengan arsitektur yang bagus. Sedangkan keturunan orang
biasa akan hidup di desa dengan gubuk biasa karena tidak akan mampu membuat
banguan sebagus keraton. Belum lagi dalam penampilan dalam kesehariannya dengan
berbagai pakaian yang istimewa tidak seperti orang desa dengan kadar seadanya.
Dengan adanya persaingan di kota, akan tampak ketimpangan
gender. Wanita akan mendapati ruang yang terbatas. Desa yang memiliki
keterbukaan bukan untuk persaingan akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan
bersama. Maka wanita pun memilki peran yang bebas, sesuai dengan keinginan dan
hal apa yang harus dipenuhui untuk kepentingan dalam masyarakat desa. Budaya di
desa pada Jawa seringkali wanita memiliki peran ganda. Memang agama mengajarkan
bahwa wanita adalah untuk dilayani, namun Jawa membentuk budaya untuk saling
melayani demi keharmonisan sosial. dalam keluarga akan mendapati bagian sesuai
dengan kemampuan atau tenaga yang dapat dikerjakan antara laki-laki dan
perempuan (suami-istri). Misalkan yang seringkali terilhat ketika melakukan
garapan tanah. Sang suami akan mengerjakan yang lebih berat, misalkan membajak
tanah atau mencangkul sedangkan istri bagian mengerjakan menanam benih padi.
Dari sinilah terlihat perbedaan budaya, pola hidup dan peran wanita dan
laki-laki antara masyarakat kota (pusat) dan masyarakat desa.
Yogyakarta, 4 Mei 2016
Ilyasi
[1] Mohammad Damami, Dosen Sosiologi Agama Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3]
Mohammad Damami menulis bahwa “Tradisi besar adalah
tradisi (entitas budaya) yang mampu memengaruhi terhadap tradisi (entitas
budaya) yang lebih kecil atau lebih lemah. Sebaliknya tradisi kecil adalah
tradisi yang hanya mampu bertahan untuk tradisi itu sendiri dan tidak mampu
memengaruhi tradisi lainnya.
[5]
Berbicara permodalan sangatlah rumit dan menjijikkan.
Karena akan sangat tampak jelas kelas-kelas sosial. dimana dulu Karl Max sudah
menjelaskan tentang penindasan dari penguasa. Sistem kapitalisme sudah
berkembang dengan pesat di Jawa. Perampasan hak milik tanah yang katakan Karl
Max sudah sering terjadi di Jawa. Lahan-lahan untuk pertanian diambil alih
secara paksa, semisal akan dibangunnya bandara di Kulon Progo. Sistem
kapitalisme pada dasarnya memang dibentuuk bukan untuk berpihak kepada rakyat
akan tetapi digunakan untuk menindas orang lain yang tidak memiliki modal. Negara
saat ini, sangat jauh dari fungsi yang semestinya. Negara tidak lagi untuk
menyejahterahkan rakyatnya. Akan tetapi membuat dan melaksanakan undang-undang
atau peraturan untuk mempermudah jalan para kapitalis. Sehingga benar yang
dikatakan Karl Max bahwa “buruh hanyalah mendapatkan uang dari kucuran peluhnya
sendiri, sedangkan pemilik modal mengambil keuntungan atau laba dari buruh
tersebut”.