Sepotong Kisah Pembentukan Desa Tamidung Kecamatan
Batang-batang
Saya sedikit ragu
dan takut ketika mendapati akan menuliskan sejarah desa saya, karena
Sejarah merupakan kejadian yang benar-baenar terjadi pada masa lampau. Saya takut karena sebelumnya tidak
ada yang menuliskan tentang desa saya, yaitu desa Tamidung Kecamatan Batang-batang Kabupaten Sumenep Madura, hanya saja saya akan menuliskan
cerita-cerita atau dapat dikatakan sebagai dogeng seingat saya, karena
cerita-cerita demikian didapatkan sewaktu dulu masih kecil dan sewaktu masih
duduk di bangku Madrasah.
Sebenarnya kalau
mengenai sejarah Sumenep sudah dibukukan, sejarah dari kerajaan-kerajaan samapi
pada asal-usul terbentuk desa-desa yang ada di Sumenep. Akan tetapi, tidak
banyak orang yang memiliki buku tersebut. Saya teringat semester kemaren saya pernah
bertanya kepada teman saya tentang buku sejarah Sumenep, kata teman saya ada
salah satu buku tentang Babad Sumenep. Akan tetapi buku itu terdapat di Museum
Sumenep dan juga salah satu budayawan madura memiliki buku tersebut yaitu Pak
D. Zawawi Imron. Untuk melacak kembali siapa lagi yang mempunyai buku itu, saya
rasa tidak cukup dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka dari itu saya
hanya akan menulis secuil penamaan Desa Tamidung yang diambil dari peristiwa Raja
Sumenep. Dikarenakan Desa-desa yang ada di kabupaten sumenep memang sebagian
besar diambil dari peristiwa raja sumenep yang ke 13 yaitu Pangeran Joko Tole.
Pangeran Joko Tole
anak dari Adi Poday (raja sumenep ke 12) dengan Raden Ayu Potre Koneng yang
hamil melalui perkawinan bathin (melalui mimpi). Joko Tole menjadi raja Sumenep
yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460)[1].
Pangeran Joko Tole terkenal dengan pemimpin yang dekat dengan rakyat dan
memiliki kesaktian yang tinggi. Ia mempunyai kuda terbang (Kuda Resang Panole) yang
sampai saat ini kuda terbang Joko Tole menjadi symbol sumenep.
Kesaktiannya Raja
joko tole mulai terlihat sejak berumur 6 tahun yang pada saat itu dapat membuat
alat-alat perkakas dengan tanpa alat apapun, dengan kekuatan yang dimiliki Joko
Tole dapat membantu para pekerja pandai besi yang sedang kelelahan.
Pangeran Joko Tole
terlibat dalam perang besar dan dimenangkan oleh Joko Tole saat melawan
panglima perang dari negeri china yaitu laksamana Zheng He. Pasukan Laksamana
Zheng He dihancurkan oleh Joko Tole, ketika itu Joko Tole menunggangi kuda
terbangnya kemudian mendapati bisikan dari pamannya, bisikan tersebut adalah
perintah untuk memukul, kemudian dengan perintah demikian Joko Tole melambaikan
(Pecchot) cambuknya yang mengkilap, separti petir menyambar, menghancurkan
semua kapal pasukan Zheng He.
Kekuasaan Joko Tole berakhir
pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh putra pertamanya yang bernama Arya
Wigananda.
D Zawawi Imron
pernah menceritkan melalui tulisan tentang akhir dari kehidupan Joko Tole. Di
hari-hari terakhirnya Joko Tole berada di desa bernama Lapataman. Pada zaman
Belanda katanya Lapataman berada di Daerah Distrik Timur. Namun, sekarang
distrik itu sudah tidak ada lagi. Desa Lapataman ada di kecamatan Dungkek
kabupaten Sumenep. Nah, keraton Joko Tole ada di desa ini. Joko Tole berkuasa
di Madura bagian timur sampai ke Poday, Raas, Kangean, Sakala, Sawobi,
Pagherungan juga ada dibawah kekuasaan Pangeran Joko Tole yang disebut juga
Adipati Kuda Resang Panole.
Pada suatu hari Joko
Tole mulai sakit-sakitan. Beliau merasa ajalnya sudah dekat, Joko Tole meminta
untuk diantar ke Sumenep. Karena sudah tidak kuat lagi naik kuda atau beliau
tidak dapat lagi menunggangi kuda sendiri, akhirnya Joko Tole diusung dan
diiringi banyak orang. Dari Lapataman beliau diusung melewati desa Ngen-Bungen,
dari Ngen-Bungen melewati sebelah utara Taman Sari. Dari Taman Sari, melewati
Nyabakan Timur, Jenang, Totosan akhirnya sampai ke suatu tempat di sebelah
barat desa Totosan.
Di situ Joko Tole
merasa ajalnya akan tiba, mereka berhenti di sana. Kemudian di tempat itulah
Joko Tole dibaringkan, dan menurut cerita disitulah nyawanya dicabut Allah SWT.
Kemudian orang-orang menamai tempat itu dengan Tang-Batang. Sesungguhnya
Tang-Batang barasal dari kata Batang, hanya saja kebiasaan orang Madura
mengulang kata dengan menggunakan akhir kata sebagai tambahan diawal kata.
Batang sendiri dalam bahasa Indonesia berarti Bangkai. Artinya bangkai tersebut
merupakan mayat dari Pangeran Joko Tole. Kemudian orang-orang menjadikan tempat
meninggalnya Joko Tole sebagai Desa Batang-batang dan msekaligus sebagai
kecamatan Batang-bantang sampai saat ini.
Setelah wafat, Joko
Tole dibawa lagi ke barat, orang-orang mengusung kembali untuk mengantarkan
jenazah Joko Tole ke Sumenep. Ke barat dari Batang-batang para iringan yang
ikut mengusung Jenazah Joko Tole merasa Lempo. Kemudian dijadikan desa yang
bernama Kolpo. Kolpo ini sebenarnya terjadi pelesetan bahasa, kebiasaan orang
Madura, dari Lempo menjadi Kolpo. Lempo dalam bahasa Indonesia berarti ngantuk.
Akan tetapi, para iringan tidak berhenti di tempat ini, mereka memaksakan untuk
melanjutkan. Dengan memaksakan rasa ngantuk itulah para iringan pada akhirnya
tidak jauh dari tempat tadi mereka Ta-tedung (dalam bahasa Indonesia tertidur).
Nah, di tempat inilah yang sampai sekarang dinamakan Desa Tamidung, yang
merupakan desa saya. Maka dari itu, saya tidak begitu mengetahui sejarah rinci
terbentuknya desa saya, hanya saja awal mula dinamakan desa Tamidung memang
diambil karena menjadi tempat beristirahanya atau Ta-tedung para iringan yang
mengantarkan jenazah Pangeran Joko Tole.
Perjalanan
mengantarkan jenazah Joko Tole tidak berhenti di desa saya, setelah beberapa
waktu beristirahat para iringan sudah merasa kuat kemabali untuk meneruskan
perjalanan. Mereka mengangkat kemabali jenazah Pangeran Joko Tole. Meraka
membawa ke barat melewati Air Merah. Akhirnya sampai di desa Lanjuk, menurut
cerita pikulan yang digunakan untuk
mengusung Joko Tole, patah. Maka dikuburkanlah Joko Tole di desa ini,
karena tidak ada yang bisa dipakai untuk membawa jenazah Joko Tole ke Sumenep.
Pada desa ini awalnya karena pada saat itu musim kemarau, desa tersebut dilanda
kekeringan, tidak ada air untuk memandikan jenazah beliau. Kemudian Joko Widi
adik dari Joko Tole menancapkan Tongkat peninggalan neneknya, dari tancapan
tongkat itulah keluar air untuk memandikan jenazah Joko Tole. Sumber air itu di
madura dinamakan Sa-Asa. Setalah dimandikan Joko Tole dikuburkan di kampung
Sa-Asa. Nama yang diambil dari sumber mata air yang keluar dari tancapan
tongkat Joko Widi. Sampai sekarang banyak orang yang berziarah ke kuburan Joko
Tole yang berada di kampung Sa-Asa Desa Lanjuk Kecamatan Manding.
Sepintas kondisi Sosial,
Budaya dan Agama Masyarakat Desa Tamidung
Dari awal
pembentukan desa Tamidung yang diambil dari petikan kisah Pangeran Joko Tole,
Desa Tamidung merupakan desa petani. Masyarakat desa ini terholong pada desa
yang masih menggunakan cara-cara atau sistem lama dalam kehidupan bersosial dan
berbudaya. Desa Tamidung dapat digoongkan pada desa yang tertinggal karena
dalam kehidupan masyarakatnya tergantung pada pertanian. Mereka bercocok tanam
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan pokok ataupun kebutuhan
tambahan.
Kondisi sosial dan
budaya cukup baik, karena menggunkan sistem lama. Cara hubungan antara yang
satu dengan yang lain sangat erat, mereka kental dengan budaya lama, misalkan
budaya gotong royong dalam berbagai apapun. Lihat saja dalam pembuatan rumah
masyarakat tamidung hanya sedikit saja yang menggunakan para pekerja bayaran,
yang banyak adalah tetangga-tetangga ikut membantu secara meramaikan
penyelesaian pembuatan rumah tersebut.
Dalam hal Agama
masyarakat Tamidung kental dengan agama lama, meskipun dapat dikatakan 99%
masyarakat Tamidung beragama Islam. Akan tetapi mereka tidak meninggalkan
budaya-budaya peninggalan nenek moyang sebelum Islam menyebar di Madura. Akan
tetapi merekan mengganti dengan spirit keislaman. Misalkan dalam ritual-ritual
di isi dengan tahlilan.
Dalam budaya lama
dengan ritus keislaman dapat dilihat dalam pola kehidupan yang tergantung pada
pertanian, karena masyarakat tamidung dalam bertani masih bergantung pada
kondisi alam dan pada musim. Maka dalam
bercocok tanam banyak itual-ritual yang dilakukan, misalkan melakukan ritual
mendatangkan hujan setelah lama musim kemarau. Ritual ini menjadi budaya di
masyarakat Tamidung, nama dari budaya tersebut adalah budaya Ojhung.
Dilanjut lagi pada
ketika memulai bercocok tanam mereka tidak sembarang bercocok tanam. Terlebih
dahulu melihat primbon. Hari apa yang bagus dan pada pukul berapa tepat pasaran
apa (legi, pahing atau yang lainnya). Setelah itu dibuka dengan ritual, dengan mengndang
seseorang yang dapat dikatakan berilmu lebih dalam salah satu kampung, diundang
untuk melakukan ritua di sawah atau di tempat-tempat yang akan dijadikan tempat
untuk bercocok tanam. Isi dari ritual itu, orang yang diundang tadi membacakan
Al-Quran di tengah sawah dan ada beberapa hidangan yang diikutkan dalam
pembacaan Al-Quran tersebut. Harapan dari ritual ini untuk keselamatan dalam dan
keberkahan. Setelah selesai panin tiba ritual kembali dilakukan dengan maksud
mensyukuri atas hasil dari pertanian pada musim tersebut.
Kalau misalkan pada
masyarakat ini tidak melakukan ritual semacam tadi, mereka dianggap melakukan
penyimpangan. Dan diyakini semua yang dilakukan akan berakhir dengan sia-sia
tanpa hasil yang didapatkan. Hal semacam ini, menurut Emaile Durkhiem[2]
bahwa, pada tingkat tertentu, merupakan fakta sosial yang ditemukan dalam
pikiran para individu. Akan tetapi, dia percaya bahwa ketika orang mulai
berinteraksi dengan cara-cara yang kompleks, interaksi-interaksi mereka akan
“mematuhi hukum yang dimiliki mereka semua”.
Kesimpulan yang dapat diambil, pada masyarakat Tamidung
kebiasaan-kebiasaan lama akan terus dijalankan. Kepercayaan mereka terhadap
suatu hukum berangkat dari kesadaran nurani. Jadi tidak gampang untuk
meninggalkan atau mengubah pada hukum-hukum yang baru.
Yogyakarta, 09 September
2015
Ilyasi
13540030
Tidak ada komentar:
Posting Komentar